Langsung ke konten utama

Trip to Thailand 2018 : Ayutthaya

Selamat tahun baru 2019! Tidak terasa tahun berganti ya? Tahun yang baru saya membawa cerita baru, walaupun kejadiannya di tahun 2018. Semoga cerita saya ke Ayuttahaya masih bisa saya ceritakan dengan baik di tahun 2019 (semoga ingatan masih jelas). 


Ayuttahaya

Ayutthaya, ngapain sih ke sana? Liat candi doang? Di Indonesia juga banyak! Bener di Indonesia banyak tapi yang ini beda! Ayuttahaya bisa dibilang merupakan pusatnya Thailand jaman dulu, kalau anak sekarang kan taunya Bangkok itu pusatnya padahal dulunya Ayutthaya ini yang jadi pusat kerajaannya. Nah terjadilah insiden yang menyebabkan Ayuttahaya ini dibumihanguskan dan ditinggalkan orang-orang. Sampai akhirnya Raja Taksin buat kota baru lagi yang berhadapan dengan ibukota yang sekarang yaitu Bangkok. Setelah ditinggalkan yang tersisa dari Ayuttahaya hanyalah candi-candinya. Candi-candinya ga sebesar Candi Borobudur tapi tersebar di hampir seluruh wilayah di Ayutthaya. Bahkan UNESCO sampai jadiin Ayutthaya jadi warisan dunia. 

Dengan banyak pertimbangan dan pengen jalan-jalan yang ga itu-itu aja, akhirnya saya memutuskan untuk ke sana. Cuman, sejujurnya saya bingung kesana naik apa kalau naik umum jaraknya bisa dibilang ga terlalu jauh cuma 1 jam. Setelah berisik nanya-nanya temen Thai saya dengan berbaik hati mau nemenin saya kesana dikasih tumpangan gratis! Akibat dari tumpangan gratis, saya bener-bener ga tau deh gimana caranya kesana dengan kendaraan umum mungkin yang saya ceritakan lebih ke apa yang saya liat aja kali ya. 

Wat Chaiwatthanaram

Saya berangkat pagi banget menuju ke tempat saja janjian sama si Num. Walau agak ribet karena saya harus berpindah kereta karena janjiannya di stasiun sebelum bandara. Dengan petunjuk Num, saya naik MRT Phetchaburi ke Makasan. Sampe Makasan saya lanjut naik ARL yang menuju ke Suvarnabhumi. Nah sebelum Suvarnabhumi saya turun di stasiun Ban Thap Chang. Pas turun si Num udah dadah-dadah. Akhrinya saya naik dan menuju Ayuttahaya dari sana dan full lewat TOL. Sepanjang jalan Num banyak bercerita soal Thailand apa yang lagi happening merek mobil yang ga ada di Indonesia sampai bahas kenapa harus ada kamera yang menghadap ke depan. Sampai akhirnya satu jam ga kerasa saya sampai ke Ayuttahaya (termasuk sempet berhenti di rest area juga lho, ga jauh kan?).

Sampai sana pas jam 12an siang dan perut laper akhirnya kita memutuskan makan dulu di Phak Wan. Makanan di sini enak banget, kayak rasa masakan Indonesia tapi seger dan pedes. Menunya banyak banget sih dan saya cuma order beberapa aja. Setelah puas makan baru kita lanjut perjalanan untuk liat candinya. Sejujurnya ada banyak banget candi di sini. Akhirnya hanya dipilih beberapa candi karena mengingat tenaga dan ehem tiket. Yap beberapa komplek candi mengharuskan kita membayar tiket masuk sekitar 50 ribuan. 

Menikmati sore hari di Ayuttahaya

Selama ngeliat candi-candinya, saya sih sempet merinding. Apalagi ketika si Num menceritakan sejarahnya dengan berapi-api sambil saya liat banyaknya patung-patung Budha yang hancur. Selain karena bangunan lama banget cerita dibalik candi-candi ini juga bikin takjub sih. Kebayang ga di jaman kapan udah bisa bikin bangunan kayak gitu? Sama kayak waktu liat Borobudur, kok bisa angkut batu segede-gede itu? Ada dua lokasi sih favorit saya, yaitu candi yang besar banget yang nyatu sama kuil Wat Chang Ayutthaya sama di Wat Chaiwatthanaram. Di kuil Wat Chang Ayutthaya ini banyak banget penjelasan soal sejarahnya dan temen saya sempet berdoa juga di sana dengan khidmat. Sementar di Wat Chaiwatthanaram ini harus banget ke sini sih. Selain ada candi-candi yang sudah pasti epic, di sini kita bisa liat sungai. Pemandangan sore hari antara sungai dan candi, wah itu rasanya gila! Tips kalau kesini siapin kamera dengan batere penuh karena banyak banget objek fotonya dan siapin mental karena banyak yang jadiin Wat Chaiwatthanaram sebagai tempat pre-wedding atau bahkan foto-foto dengan kostum jaman dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Traveling (part 1)

Hei apa kabar my dearest blog? Wah sudah dua tahun ya tidak ada posting sama sekali di blog ini. Bukan tidak ingin untuk menulisa lagi, hanya saja hmmmmm. Okey mari kita lewati memberikan berbagai macam alasan untuk tidak menulis, sekarang saya akan sedikit memberikan pengalaman saya seputar jalan-jalan. Rasanya sudah cukup lama sih tidak menulis sesuatu yang bersifat informatif di blog ini. Tulisan-tulisan terakhir saya berisi cerita-cerita fiksi, keluh kesah, puisi, dan hal-hal yang mungkin kurang informatif dan bermanfaat (tapi cukup menghibur kan?). Bukan sok nasionalis sih, tapi emang Indonesia itu negara yang luas dan punya banyak sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi.   Saya tiba-tiba baru sadar bahwa saya sudah terlalu sering jalan-jalan. Memang sih saya belum bisa dikategorikan sebagai backpacker sejati atau traveler akut. Apalagi kalau mau adu jumlah negara yang dikunjungi, duh saya masih cupu sekali. Selain karena waktu dan ehem budget, saya lebih fokus u

8 Hari Jelang Premiere

Ternyata saya mengalami ketakutan luar biasa jelang premiere. Takut kalau filmnya malah dihujat orang, takut kalau dengar selentingan "Ih filmnya ga banget deh". Takut juga denger "Duh Sutradaranya payah nih". Dan komentar-komentar lainnya yang bisa menyayat hati. Sumpah. Ini baru pertama kalinya film pendek yang saya sutradarai di putar secara umum. Dan ternyata rasanya lebih fantastis. saya malah jadi takut jangan-jangan tidak ada yang mau nonton film "Senja" lagi. Wajarkan ya kalau sutradara amatir semacam saya mengalami kegugupan ini? Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar. Acaranya banyak yang datang dan tidak mengecewakan. Amien

Review: The Other Boleyn Girl

I give 4,5 star from 5 for this movie. Wow. Satu lagi jajaran film yang masuk film kategori “sangat bagus” menurut saya. Saya baru berkesempatan menonton film ini hari ini. Dan ternyata tidak pernah ada kata terlambat untuk film bagus. Ceritanya sendiri sangat complicated, bukan sekedar cinta, tapi juga melibatkan nafsu, ambisi, politik, humanity, dan berbagai kata lain yang akan muncul setelah saya menonton film ini.Film ini sendiri diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karangan dari Philippa Gregory. Saya sebenarnya agak kebingungan apakah ini kisah nyata atau hanya fiksi sebagaian berkata ini fiksi namun ada beberapa hal yang memang bersumber dari sejarah Inggris. Tapi kali ini saya bukan mau concern ke sejarahnya melainkan ke film nya (tapi penasaran dengan sejarah aslinya). Film ini sendiri bukanlah film yang baru sudah ada dari tahun 2008 di luar negeri sana. Saya kurang tau nasib film ini di Indonesia, apa sudah beredar atau tidak. Film ini bercerita tentang sebuah