Langsung ke konten utama

Warung Kopi Makmur: Awal


Hari ini Bira memutuskan untuk berkunjung lagi ke warung kopi Ranti. Kali ini tujuannya bukan untuk memohon apalagi meminta, Bira hanya ingin berpamitan. Sedikit banyak Bira mulai mencoba untuk memahami kondisi saat ini, Ranti sudah jadi istri orang. Merelakan kadang menjadi bagian tersulit dalam suatu siklus percintaan. Kali ini Bira mau tidak mau harus bersedia merelakan semuanya, membuang jauh-jauh perasaannya, dan menenggelamkan harapannya pada Ranti. Pagi ini Bira memberanikan diri untuk sekedar berpamitan tanpa menaruh sedikit pun harapan lebih. Pikirannya melayang jauh ke waktu itu.

Bira masih ingat betul awal mulanya. Ia tidak sengaja berkenalan dengan Ranti saat ospek kampus. Ketika itu Bira satu kelompok dengan Ranti. Saat itu tidak ada hal dari Ranti yang menarik perhatian Bira. Bukan karena Ranti tidak memiliki fisik yang enak dipandang, melainkan Bira sudah terbisaa melihat perempuan-perempuan seperti Ranti di SMA-nya dulu. Perempuan cantik dengan rambut lurus sebahu, berkulit putih, hidung yang mancung, dengan bentuk dagu yang sangat khas, penilaian Bira hanya sampai di sana.

Berbeda dengan Bira, Ranti sudah menganggumi sosok Bira sejak pertama kali melihatnya. Ranti semakin tertarik ketika Bira mulai berbicara. Ia melihat Bira berbicara dengan rapih, sistematis,dan tenang, Ketertarikan Ranti hanya sebatas kagum saja, tidak lebih dari itu. Hingga setelah ospek selesai mereka mulai banyak berdiskusi. Ranti dan Bira semakin sering berada dalam satu kelompok jika ada presentasi. Bira semakin mengenal Ranti sebagai perempuan yang tidak sekedar cantik dan menyenangkan, namun Ranti merupakan lawan bicara yang mampu mengimbangi Bira.

Semakin hari mereka semakin dekat, dimana ada Bira di sana ada Ranti. Mereka bagai sepasang kekasih, namun tidak ada ikatan di dalamnya dan merasa tidak perlu. Bira tidak membutuhkan banyak teman, cukuplah satu orang yaitu Ranti yang menemani hari-harinya. Keduanya semakin ketergantungan satu sama lain. Dari ratusan diskusi yang pernah mereka bahas, tak satupun mereka pernah membahas tentang soal perasaan. Dinding harga diri menjadi hambatan bagi mereka berdua. Seolah ada keyakinan bahwa tanpa perlu dibicarakan keduanya sudah saling tau. Orang-orang melihat mereka berdua sebagai sosok ideal dan sempurna. Banyak juga yang menduga mereka berdua akan berjodoh dan berakhir di pelaminan. Tidak sampai disana orang-orang juga sudah menduga-duga bagaimana anak hasil pernikahan mereka kelak, pasti akan jadi kombinasi yang sempurna. Bira dan Ranti hanya membalas dengan tertawa setiap mendengar ungkapan orang-orang di sekitar mereka yang sangat mengidolakan keserasian yang mereka tunjukan. DIbalik tawa itu semakin lama Ranti ingin sebuah kepastian. Arah.

Bira merasa santai dan penuh percaya diri terhadap hubungannya dengan Ranti. Ia berpikir situasi sudah sangat kondusif, tak perlu untuk membahas urusan perasaan dengan ala anak muda pada umumnya. Bira menduga Ranti sudah paham apa yang dirasakannya tanpa perlu berkata apapun. Dibalik sebuah hubungan bukan sebuah pernyataan yang paling dibutuhkan namun sebuah kenyamanan, pikirnya begitu. Bira tidak berniat mempermainkan Ranti ataupun mengaduk-ngaduk emosi Ranti. Bira punya rencana sendiri, baginya kenyamanan ini nantinya akan bermuara pada satu hari dimana ia akan memiliki Ranti seutuhnya. Itulah janji Bira pada Ranti dalam hatinya. Bira yakin betul bahwa Ranti adalah jodohnya, tidak ada yang lebih baik dari Ranti. Sayangnya niat dan rencana Bira hanya ada dalam pikirannya. Ranti justru merasa bahwa Bira hanya menganggapnya sebagai teman diskusi paling seru yang pernah ia dapat. Ranti ingin juga seperti perempuan lainnya mendapat petunjuk tentang hubungan apa yang sedang dijalaninya. Apakah Bira layak ia tunggu atau jangan-jangan Bira tidak punya rencana apapun. Ranti tidak pernah sanggup bertanya pada Bira akan hal itu. Ranti ingin Bira yang membahas itu terlebih dahulu. Ia pasrah menunggu.

4 tahun berlalu dengan cepatnya. Mereka berdua lulus kuliah dengan predikat cum laude. Orang-orang mulai menduga-duga apa yang akan terjadi pada mereka berikutnya. Ranti pun begitu. Ranti hanya bisa sebatas menduga-duga bagaimana kelanjutannya dengan Bira. Bira belum juga berkata apapun. Walau begitu Bira sudah punya rencana, ia akan fokus untuk mengejar karir dan ketika karirnya gemilang barulah Bira akan mengajak Ranti untuk jadi pelabuhan terakhirnya. Bira pikir Ranti akan memiliki rencana yang sama dan akan paham dengan sendirinya. Sayangnya Ranti merasa terjebak dalam ketidakpastian. Ranti tidak tahan lagi dan ingin segera keluar dari zona itu. Ia ingin tau apa yang sebenarnya ia tunggu.

“Ra, ada cowok deketin aku dan kayaknya mau serius sama aku…” Ranti berusaha bercerita tentang seseorang yang dikenalkan oleh teman perempuannya. Namanya Herman, seorang anak pengusaha perkebunan karet di Muara Bungo sana. Awalnya hanya perkenalan bisaa, namun Herman merasa ada yang tidak bisaa dari Ranti. Tentu selain Ranti memang sosok yang sangat mudah dicintai, Herman menaruh ketertarikan besar pada Ranti. Belum pernah Herman merasakan ketertarikan yang luar bisaa. Sejak perkenalan itu Herman berusaha mendekati Ranti. Berbagai upaya Herman lakukan, mulai dari menyisipkan gombalan-gombalan standar hingga ajakan kencan di malam Minggu. Ranti tidak bisa menyangkal dirinya merasa senang dengan perlakukan Herman. Setelah sekian lama Ranti merasa diperlakukan sebagai wanita seutuhnya, dipuja-puja, dikejar, dan dinantikan. Ranti merasa terbang jauh dari batas harapannya. Namun sosok Bira tetap menjadi penghalang baginya. Sosok Bira sudah tertanam dengan kuat di dalam hatinya. Ranti ingin memastikan bahwa Bira pun merasakan hal yang sama.

“Ouh, terus?” jawab Bira datar. Bukan reaksi seperti itu yang Ranti harapkan. Seharusnya Bira langsung bertanya dengan ketus, bahkan marah. Sayangnya bayangan Ranti tidak terwujud sama sekali. Ia hanya mendapat respon terdatar yang pernah ia dengar. Seolah ia tidak ada apa-apanya, seolah seperti pertanda bahwa Ranti dipersilahkan untuk pergi dengan siapapun. “Sepertinya aku akan terima dia kalau dia ajak aku nikah..” balas Ranti lagi memancing. Sedikitnya Ranti masih berharap bahwa Bira akan mencegahnya. Sayangnya Bira terlihat bisaa saja. “Ya udah Ran, kalau dia bisa bikin kamu bahagia, tunggu apa lagi?” ucap Bira  lagi-lagi datar. Ranti hanya menanggukan kepalanya sambil tersenyum seadanya. Harapan yang ia bangun dengan tinggi selama ini mendadak runtuh dengan mudahnya. 4 tahun penantiannya sepertinya semua sia-sia.  Menanti untuk dicintai adalah kekuatan yang Ranti punya sejauh ini. Ia berhenti menanti Bira. Keputusannya sudah bulat.

Kelu. Itulah yang Bira rasakan saat mendengar kalimat demi kalimat yang Ranti ucapkan. Ia bingung bukan main, bagaimana ia harus merespon pernyataan tadi. Bahagia? Sedih? Bira merasa tak satupun emosi yang bisa diungkapkan pada Ranti. Bira ingin menahan Ranti, ingin marah, tapi Bira merasa bahwa ia harus tahu diri. Bira merasa bahwa Ranti tidak memiliki visi yang sama dengannya. Bukan sekedar visi tapi Bira berasumsi bahwa Ranti selama ini tidak memiliki perasaan yang sama. Bira ingin berbicara saat itu juga tentang apa yang ia rasakan. Namun Bira terlalu takut untuk menerima penolakan dari Ranti. Bira selalu takut akan penolakan, seringkali ia memilih untuk bungkam daripada kecewa, Ranti pun sepertinya sudah mantap dengan pilihannya, lalu buat apa Bira harus mengungkapkannya lagi?

Kekecewaan Ranti akan reaksi Bira melahirkan sebuah keputusan untuk meninggalkan Bira. Ia harus segera meninggalkan Bira. Jauh dari Bira mungkin adalah satu-satunya cara untuk mengubur perasaannya dan memulai hari yang baru bersama Herman. Tanpa menyebutkan kapan apalagi berpamitan Ranti meninggalkan Jakarta dan mulai menetap di Muara Bungo. Kota yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tinggal di sebuah kota kecil yang berjarak 6 jam dari Jambi, dengan suasana yang jauh berbeda dari Jakarta. Suasana baru dan tidak ada bayang-bayang Bira di kota itu.

 Sementara itu Bira panik ketika tiba-tiba Ranti menghilang. Ranti mendadak seperti buronan, nomer telpon genggamnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Bira mencari ke rumahnya, ke manapun Ranti bisaa berada, namun semua terlihat kompak untuk menjauhkan Ranti darinya.  Bira tidak berhenti mencari. Berbagai upaya telah ia tempuh agar dapat menemuinya. Butuh 2 tahun hingga akhirnya Bira mendapatkan pencerahan mengenai keberadaan Ranti dari seorang temannya. Bira terpaksa membuat kebohongan pada teman Ranti, dengan alih-alih ingin mengabarkan bahwa ia akan menikah.  Temannya langsung setuju untuk memberi info dimana Ranti berada walaupun tidak terlalu detail. Hanya ada info yang ia dapatkan, Muara Bungo dan nama warung kopinya, Warung Kopi Makmur.

Pencarian panjang Bira tidak sepenuhnya sia-sia. Bira berhasil menemui Ranti walaupun ia sudah tau tidak akan membawa pulang apa-apa. Bira hanya butuh jawaban, setidaknya dari apa yang Ranti sampaikan Bira menangkap sesuatu. Bahwa bukan dirinya tidak sendirian dalam merasakan cinta itu. Ranti jelas memiliki perasaan yang sama. Hanya saja perasaan itu tidak bertemu di frekuensi yang sama. Hari ini ia akan berpamitan dengan baik tanpa menuntut apapun. Mungkin saja ini jadi kali terakhir Bira bisa menemui Ranti dan setelah ini Bira akan menghadapi hal paling sulit dalam hidupnya, merelakan.

“Ranti…” Bira berusaha menyapa Ranti yang sedang duduk melamun di salah satu meja di warungnya itu sambil berjalan menuju kesana. Ranti menoleh ke arah suara Bira. Raut wajahnya menunjukan kegusaran ketika menatap Bira. Bira merasa ada yang tidak beres. Sebelum Bira sampai berjalan menuju meja itu, Ranti sudah berdiri dan mendekati Bira. Tiba-tiba Ranti menggenggam tanga Bira kuat-kuat sambil menariknya keluar dari warung itu. Bira terlihat kebingungan dengan apa yang terjadi, ia baru saja datang dan seingatnya ia belum mengucapkan sepatah katapun selain memanggil nama Ranti. Sampai di luar warung Ranti belum juga melepas genggaman tangannya sambil berjalan terus menjauh dari warung. Bira belum tau harus bertanya apa karena belum ada pertanda bahwa Ranti akan menjelaskan. Bira menurut saja entah Ranti akan membawanya kemana. Mereka berjalan semakin jauh dari warung itu.

“Aku tau kamu pasti datang Ra, sekarang bawa aku pergi Ra, kemanapun” ucap Ranti pelan. Bira hanya mengangguk pertanda setuju dan bukan juga saatnya untuk mendapatkan penjelasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Traveling (part 1)

Hei apa kabar my dearest blog? Wah sudah dua tahun ya tidak ada posting sama sekali di blog ini. Bukan tidak ingin untuk menulisa lagi, hanya saja hmmmmm. Okey mari kita lewati memberikan berbagai macam alasan untuk tidak menulis, sekarang saya akan sedikit memberikan pengalaman saya seputar jalan-jalan. Rasanya sudah cukup lama sih tidak menulis sesuatu yang bersifat informatif di blog ini. Tulisan-tulisan terakhir saya berisi cerita-cerita fiksi, keluh kesah, puisi, dan hal-hal yang mungkin kurang informatif dan bermanfaat (tapi cukup menghibur kan?). Bukan sok nasionalis sih, tapi emang Indonesia itu negara yang luas dan punya banyak sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi.   Saya tiba-tiba baru sadar bahwa saya sudah terlalu sering jalan-jalan. Memang sih saya belum bisa dikategorikan sebagai backpacker sejati atau traveler akut. Apalagi kalau mau adu jumlah negara yang dikunjungi, duh saya masih cupu sekali. Selain karena waktu dan ehem budget, saya lebih fokus u

Review: The Other Boleyn Girl

I give 4,5 star from 5 for this movie. Wow. Satu lagi jajaran film yang masuk film kategori “sangat bagus” menurut saya. Saya baru berkesempatan menonton film ini hari ini. Dan ternyata tidak pernah ada kata terlambat untuk film bagus. Ceritanya sendiri sangat complicated, bukan sekedar cinta, tapi juga melibatkan nafsu, ambisi, politik, humanity, dan berbagai kata lain yang akan muncul setelah saya menonton film ini.Film ini sendiri diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karangan dari Philippa Gregory. Saya sebenarnya agak kebingungan apakah ini kisah nyata atau hanya fiksi sebagaian berkata ini fiksi namun ada beberapa hal yang memang bersumber dari sejarah Inggris. Tapi kali ini saya bukan mau concern ke sejarahnya melainkan ke film nya (tapi penasaran dengan sejarah aslinya). Film ini sendiri bukanlah film yang baru sudah ada dari tahun 2008 di luar negeri sana. Saya kurang tau nasib film ini di Indonesia, apa sudah beredar atau tidak. Film ini bercerita tentang sebuah

8 Hari Jelang Premiere

Ternyata saya mengalami ketakutan luar biasa jelang premiere. Takut kalau filmnya malah dihujat orang, takut kalau dengar selentingan "Ih filmnya ga banget deh". Takut juga denger "Duh Sutradaranya payah nih". Dan komentar-komentar lainnya yang bisa menyayat hati. Sumpah. Ini baru pertama kalinya film pendek yang saya sutradarai di putar secara umum. Dan ternyata rasanya lebih fantastis. saya malah jadi takut jangan-jangan tidak ada yang mau nonton film "Senja" lagi. Wajarkan ya kalau sutradara amatir semacam saya mengalami kegugupan ini? Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar. Acaranya banyak yang datang dan tidak mengecewakan. Amien