Langsung ke konten utama

Warung Kopi Makmur


Pagi itu suasana kota Muara Bungo terlihat lebih lengang dari biasanya. Sudah 2 jam kota ini diguyur oleh hujan yang tidak terlalu besar namun tidak cocok juga disebut gerimis. Efek ini pun terasa sekali oleh para pedagang-pedagang yang menjual sarapan, kebanyakan memilih tidak sarapan atau mungkin sarapan seadanya saja. Begitupun dengan salah satu warung kopi yang terletak di sebuah jalan kecil di Bungo yang biasanya cukup ramai dikunjungi. Pagi ini hanya diisi oleh 3 orang pengunjung saja. Dua diantaranya bapak-bapak berumur sekitar 40 tahunan yang sedang asik membahas isu politik Indonesia yang memanas belakangan ini. Mereka berbicara dengan volume yang cukup keras bahkan kita bisa mendengarnya walaupun tidak ingin tau apa yang mereka bicarakan. Selain dua bapak-bapak tadi ada seorang lagi pengunjung warung kopi itu, ia laki-laki yang berumur sekitar 25 tahun menggunakan pakaian rapih. Laki-laki itu mengenakan kemeja berwarna coklat tua tanpa motif dengan celana berwarna hitam  lengkap dengan sepatu pentopel, rapih layaknya karyawan kantoran. Dia terlihat seperti sedang menunggu. Gerak geriknya tidak tenang, gelisah, matanya terus mengamati seluruh isi warung kopi itu. 

Sampai ketika ada seorang perempuan yang masuk ke dalam warung kopi itu. Laki-laki itu terlihat sedikit lega namun kegugupan yang kini terlihat.

“Ranti..” ucap laki-laki itu ragu-ragu. Perempuan yang baru masuk itu menoleh karena namanya dipanggil oleh suara yang tidak asing lagi. Kemudian mata mereka saling bertemu, untuk sesaat tidak ada kata-kata keluar dari mulut keduanya. Ranti terdiam dan tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, “Bira? Kamu ngapain di sini?” itulah kalimat yang langsung terbesit dan terucap dari mulut Ranti saat melihat Bira ada di depannya. Bira tersenyum selebar mungkin untuk mengawali pertemuan ini. Pertemuan yang sudah lama dia nanti.

Pertemuan dengan Ranti memang bukanlah suatu kebetulan dan ketidaksengajaan. Bira memang sudah merencanakan ini sejak seminggu sebelumnya ia tidak sengaja melihat Ranti masuk ke warung kopi ini. Bahkan Bira sudah seperti penguntit yang sedang mengikuti idolanya. Selama seminggu penuh Bira memata-matai Ranti. Ranti selalu datang ke warung kopi ini setiap jam 9.30 diantar oleh sebuah mobil berwarna abu-abu. Bira berasumsi bahwa Ranti setiap hari sarapan di sini. Butuh waktu 1 minggu hingga akhirnya Bira memutuskan untuk berani menemui Ranti.

“Aku lagi sarapan Ran, wah kebetulah banget ya kita bisa ketemu” Bira tidak mungkin mengatakan bahwa ia sudah mengamati Ranti selama seminggu ini, Ranti pasti agak takut jika tau. “Apa kabar kamu?” tanya Ranti sambil duduk di meja tempat Bira duduk. Kini keduanya saling duduk berhadapan, Bira memandang dalam pada Ranti. Terlalu banyak hal yang dulu pernah ia lewati bersamanya. Betapa Ranti yang kini semakin cantik dan semakin dewasa. Semakin ia memandang Ranti semakin ingatannya tentang Ranti terputar layaknya film di pikirannya. “Baik Ran, Aku lagi ada tugas di sini. Ga nyangka aja kalau kita bisa ketemu lagi ya dan di Bungo pula!” ucap Bira dengan antusiasnya. Padahal Bira sendiri yang meminta untuk bertugas di Muara Bungo ketika ia mengetahui bahwa Ranti kini tinggal di kota itu. Lagi-lagi Bira tidak mungkin bercerita bagaimana ia berusaha menemukan Ranti disini dengan konsep seolah seperti tidak disengaja. “Iya, ya Aku kaget banget lho Ra, ga pernah ada satupun aku ketemu temen-temen dari Jakarta di sini sekalinya ketemu malah kamu, hahaha” Ranti berusaha mencairkan suasana. Obrolan mereka pun berlanjut layaknya teman yang sudah lama tidak bertemu, kebanyakan tentang masa lalu dan kabar saat ini.

“Jadi kamu kesini bukan buat sarapan? Kok tiap hari?” tanya Bira.

“Engga, ini kedai kopi punya suamiku jadi aku bantu ngawasin di sini. Kamu tau darimana aku tiap hari kesini?” Ranti agak curiga.

“Ah nebak aja kayaknya udah biasa kesini” jawab Bira singkat. Saat mendengar kata “suamiku” seketika Bira kehilangan tenaga. Seperti ada sebuah tembok besar, tinggi, dan sangat kokoh yang menghalanginya namun tetap memaksanya untuk terus memanjat tapi pada akhirnya ia tidak pernah berhasil.

“Kok diem Ra?”

“Jadi bener ya kamu pergi ke kota ini untuk nikah? Sama engko-engko tua yang tadi pagi ada di depan ya?” Bira berusaha mencari tau. Ranti tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Iya?” tanya Bira sekali lagi untuk memastikan senyuman dan anggukan itu adalah pertanda bahwa kesimpulannya benar.

“Terdengar sangat diskriminatif ya Ra, hahaha. Memang kenapa kalau aku menikah dengan engko-engko tua? Salah ya?” Ranti akhirnya menjawab.

“Kamu bisa dapet yang lebih baik kok Ran, di Jakarta banyak. Yang muda, sukses, ya intinya sih yang lebih baik”

“Tau darimana kamu kalau hidup aku bisa lebih baik dengan kata “banyak” yang kamu bilang tadi? Dan siapa yang lebih baik itu Ra?”. Bira terdiam. Bira berusaha mengarahkan jawaban-jawaban itu pada sosok dirinya. Bira merasa bahwa ia lebih baik dibandingkan dengan pria tua yang tadi pagi menjaga warung ini. Bira ingin berkata bahwa sosok yang lebih baik itu adalah dirinya.

“Maaf Ran, Aku terkesan ga menghargai pilihan kamu”

“Ga apa-apa Ra” jawab Ranti sambil tersenyum. Namun Bira masih belum puas dengan obrolan itu. Ada hal yang selama ini membuatnya bertanya-tanya. Pertanyaan yang selalu membayanginya selama 2 tahun terakhir semenjak Ranti meninggalkan Jakarta begitu saja. Bira awalnya sangat kecewa dan marah kepada Ranti. Ranti pergi tanpa sedikit kata perpisahan atau pamit. Namun amarah itu hilang perlahan dan berubah menjadi satu pertanyaan yang selalu membayanginya. Kenapa?

“Kenapa?” akhirnya Bira memberanikan diri untuk menanyakannya. Ranti memandangi laki-laki di depannya ini. Laki-laki yang dulu ia tinggalkan yang membuatnya kini seolah seperti tokoh antagonis. Ranti berusaha menggali kembali ingatannya tentang hari itu. Dimana dia akhirnya menerima lamaran seorang pria yang akhirnya mengajaknya pindah ke kota kecil yang asing di telinganya.

“Arah. Aku butuh arah waktu itu. Bukan sekedar hanyut dalam perjalanannya, tapi arah kemana kita akan sampai. Kamu hanya asik dalam perjalanan itu” jawab Ranti. Ia kemudian berdiri dari meja itu sambil tersenyum pada Bira yang masih duduk. “Selamat menikmati kopinya ya Ra, ngomong-ngomong engko-engko yang kamu bilang itu sebenernya mertuaku Ra” ucap Ranti sambil berjalan masuk ke dalam. Bira melamun sambil memikirkan kata-kata Ranti barusan, tentang arah. Bira merasa dirinya telah sampai, hanya saja mungkin dia terlambat. Arah tersebut yang membawanya kini duduk di warung kopi itu. Ia memandangi seisi warung kopi itu, bapak-bapak tadi sudah tidak ada. Hanya tinggal dirinya sendiri dan secangkir kopi dari Warung Kopi Makmur.

Komentar

  1. Menarik! Dan sya baru tahu kalo di Muara Bungo ada warung kopi yang bernama "Makmur"..
    dan sya penasaran dg sosok Bira dan Ranti..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Traveling (part 1)

Hei apa kabar my dearest blog? Wah sudah dua tahun ya tidak ada posting sama sekali di blog ini. Bukan tidak ingin untuk menulisa lagi, hanya saja hmmmmm. Okey mari kita lewati memberikan berbagai macam alasan untuk tidak menulis, sekarang saya akan sedikit memberikan pengalaman saya seputar jalan-jalan. Rasanya sudah cukup lama sih tidak menulis sesuatu yang bersifat informatif di blog ini. Tulisan-tulisan terakhir saya berisi cerita-cerita fiksi, keluh kesah, puisi, dan hal-hal yang mungkin kurang informatif dan bermanfaat (tapi cukup menghibur kan?). Bukan sok nasionalis sih, tapi emang Indonesia itu negara yang luas dan punya banyak sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi.   Saya tiba-tiba baru sadar bahwa saya sudah terlalu sering jalan-jalan. Memang sih saya belum bisa dikategorikan sebagai backpacker sejati atau traveler akut. Apalagi kalau mau adu jumlah negara yang dikunjungi, duh saya masih cupu sekali. Selain karena waktu dan ehem budget, saya lebih fokus u

Review: The Other Boleyn Girl

I give 4,5 star from 5 for this movie. Wow. Satu lagi jajaran film yang masuk film kategori “sangat bagus” menurut saya. Saya baru berkesempatan menonton film ini hari ini. Dan ternyata tidak pernah ada kata terlambat untuk film bagus. Ceritanya sendiri sangat complicated, bukan sekedar cinta, tapi juga melibatkan nafsu, ambisi, politik, humanity, dan berbagai kata lain yang akan muncul setelah saya menonton film ini.Film ini sendiri diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karangan dari Philippa Gregory. Saya sebenarnya agak kebingungan apakah ini kisah nyata atau hanya fiksi sebagaian berkata ini fiksi namun ada beberapa hal yang memang bersumber dari sejarah Inggris. Tapi kali ini saya bukan mau concern ke sejarahnya melainkan ke film nya (tapi penasaran dengan sejarah aslinya). Film ini sendiri bukanlah film yang baru sudah ada dari tahun 2008 di luar negeri sana. Saya kurang tau nasib film ini di Indonesia, apa sudah beredar atau tidak. Film ini bercerita tentang sebuah

8 Hari Jelang Premiere

Ternyata saya mengalami ketakutan luar biasa jelang premiere. Takut kalau filmnya malah dihujat orang, takut kalau dengar selentingan "Ih filmnya ga banget deh". Takut juga denger "Duh Sutradaranya payah nih". Dan komentar-komentar lainnya yang bisa menyayat hati. Sumpah. Ini baru pertama kalinya film pendek yang saya sutradarai di putar secara umum. Dan ternyata rasanya lebih fantastis. saya malah jadi takut jangan-jangan tidak ada yang mau nonton film "Senja" lagi. Wajarkan ya kalau sutradara amatir semacam saya mengalami kegugupan ini? Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar. Acaranya banyak yang datang dan tidak mengecewakan. Amien