"Fanatik itu ciri orang bodoh!"
Back with the review. Kali ini saya akan me-review film Indonesia. Film Indonesia memang beberapa hari ini memenuhi bioskop-bioskop. Seperti biasa strategi mengeluarkan film saat lebaran memang cukup ampuh untuk mendongkrak penjualan tiket. Film serius seperti Sang Pencerah saja dipenuhi penonton.
Kembali ke filmnya, film garapan sutradara Hanung Bramantyo termasuk film dengan plot yang lambat. Saya sarankan untuk orang-orang yang cepat ngantuk sepertinya tidak usah nonton film ini. Dibalik alurnya yang lambat (mungkin karena ini film sejarah) film ini mampu menyampaikan pesan-pesannya ke dalam pikiran saya.
Dan satu hal yang sangat membekas di pikiran saya saat ini adalah: Muhammadiyah bukan ALIRAN ISLAM". Sejak kecil saya sering ditanya oleh orang-orang sekitar mengenai hal tersebut, "Kamu Islam apa, PERSIS atau Muhammadiyah?" Dulu saya sempat bingung, apa Islam juga ada alirannya juga? Setau saya sih Islam ya Islam. Tidak perlu ada embel-embel di belakangnya.
Dalam film ini pun ditegaskan bahwa Muhammadiyah bukan agama, bukan organisasi politik, hanya perkumpulan untuk aktivitas sosial seperti pendidikan. See? Ini memberi penerangan bagi orang-orang agar tidak menganggap Muhammadiyah sebagai aliran Islam.
Saya senang dengan aktingnya Lukman Sardi di film ini. Juara! Sepertinya dia bisas memerankan peran apa saja dengan baik. Dan dalam film ini pun didukung aktor-aktor yang aktingnya tidak kalah mengaggumkan seperti Ikranegara, Agus Kuncoro, Slamet Rahardjo, dan bahkan Ihsan (Indonesian Idol) berperan sebagai KH. Ahmad Dahlan sewaktu muda dengan baik.
Tidak ada kejutan-kejutan atau cerita tak terduga di film ini, ya kembali lagi ini film berdasarkan sejarah yang ada. Hanya saja dialog-dialog di film ini cukup memikat. Dan menyentil keadaan saat ini. Mengenai kebrutalan berlatarbelakang agama yang dari dulu marak dilakukan oleh sebuah organisasi (yang katanya Islam, tapi kok brutal?) dan juga Kiyai-kiyai saat ini banyak yang berpikir sempit.
Secara keseluruhan film ini cukup sarat makna dan sayang juga untuk dilewatkan, mengingat jarang sekali film Indonesia yang berbobot. Apalagi film ini akan dibuat sequel sehingga kita bisa melihat sosok KH Ahmad Dahlan juga organisasinya secara utuh. Film ini juga membuka paradigma-paradigma sempit yang belakangan semakin sempit. Juga seperti memberi penyegaran untuk saling menghormati antar umat beragama.
Kekurangan di film ini adalah, setting yang agak berlebihan menurut saya, seperti daun-daun berguguran untuk efek dramatisir. Bagus sih cuma terlalu sering jadi agak aneh. Apalagi efek cahaya lampu yang kelihatan banget. Selain itu penggambaran lokasi-lokasinya yang dilihat dari atas terlihat sekali menggunakan CGI. Terlihat agak murahan dan bohongan. Ya mungkin itu adalah kendala film Indonesia yaitu dalam hal special effect.
Dan satu hal yang sangat membekas di pikiran saya saat ini adalah: Muhammadiyah bukan ALIRAN ISLAM". Sejak kecil saya sering ditanya oleh orang-orang sekitar mengenai hal tersebut, "Kamu Islam apa, PERSIS atau Muhammadiyah?" Dulu saya sempat bingung, apa Islam juga ada alirannya juga? Setau saya sih Islam ya Islam. Tidak perlu ada embel-embel di belakangnya.
Dalam film ini pun ditegaskan bahwa Muhammadiyah bukan agama, bukan organisasi politik, hanya perkumpulan untuk aktivitas sosial seperti pendidikan. See? Ini memberi penerangan bagi orang-orang agar tidak menganggap Muhammadiyah sebagai aliran Islam.
Saya senang dengan aktingnya Lukman Sardi di film ini. Juara! Sepertinya dia bisas memerankan peran apa saja dengan baik. Dan dalam film ini pun didukung aktor-aktor yang aktingnya tidak kalah mengaggumkan seperti Ikranegara, Agus Kuncoro, Slamet Rahardjo, dan bahkan Ihsan (Indonesian Idol) berperan sebagai KH. Ahmad Dahlan sewaktu muda dengan baik.
Tidak ada kejutan-kejutan atau cerita tak terduga di film ini, ya kembali lagi ini film berdasarkan sejarah yang ada. Hanya saja dialog-dialog di film ini cukup memikat. Dan menyentil keadaan saat ini. Mengenai kebrutalan berlatarbelakang agama yang dari dulu marak dilakukan oleh sebuah organisasi (yang katanya Islam, tapi kok brutal?) dan juga Kiyai-kiyai saat ini banyak yang berpikir sempit.
Secara keseluruhan film ini cukup sarat makna dan sayang juga untuk dilewatkan, mengingat jarang sekali film Indonesia yang berbobot. Apalagi film ini akan dibuat sequel sehingga kita bisa melihat sosok KH Ahmad Dahlan juga organisasinya secara utuh. Film ini juga membuka paradigma-paradigma sempit yang belakangan semakin sempit. Juga seperti memberi penyegaran untuk saling menghormati antar umat beragama.
Kekurangan di film ini adalah, setting yang agak berlebihan menurut saya, seperti daun-daun berguguran untuk efek dramatisir. Bagus sih cuma terlalu sering jadi agak aneh. Apalagi efek cahaya lampu yang kelihatan banget. Selain itu penggambaran lokasi-lokasinya yang dilihat dari atas terlihat sekali menggunakan CGI. Terlihat agak murahan dan bohongan. Ya mungkin itu adalah kendala film Indonesia yaitu dalam hal special effect.
"Apalagi film ini akan dibuat sequel sehingga kita bisa melihat sosok KH Ahmad Dahlan juga organisasinya secara utuh." >> sang penanda yaa..? saya nungguin banget :) semoga taun depan udah keluar hihi
BalasHapus"setting yang agak berlebihan menurut saya, seperti daun-daun berguguran untuk efek dramatisir" >> bagus malah menurut saya :)
"efek cahaya lampu yang kelihatan banget" >> masa sih..? menurut saya, sinematografi sang pencerah is one of finest :) apalagi scoringnya, bagus banget :))
salam kenal
Hallo Nadiafriza, salam kenal juga
BalasHapusIya di sekuelnya cerita bakalan tamat sampai Kh.Ahmad Dahlan meninggal, mungkin bakal jadi best part dari ceritanya...
Iya daun berguguran yang ga perlu terus tata lampu yang kadang tidak real terlihat bahwa itu adalah film dengan lighting di belakangnya, coba perhatiin deh..
ada bagian dimana latar situasi Yogya jama dulunya pake green screen dan itu keliatan banget kalo merhatiin detailnya ada tukang sapu2 yang maksa banget di ending...hehehe
film ini sebenernya maksudnya baik, mengangkat kembali hal2 yang menjadi pemikiran KH Ahmad Dahlan, akan tetapi sayang sekali film ini dari segi cerita banyak yang hilang dan tidak terangkat, seperti KH Ahmad Dahlan muda mondok dimana dan siapa gurunya, dan siapa2 saja yang menjadi panutan dasar pemikirannya termasuk guru2 nya yang ada di Mekkah, dan banyak hal2 yang harusnya jadi penekanan malah seperti dikaburkan, tentang bagaimana perbedaan dasar pemikiran KH Ahmad Dahlan dalam menyikapi kebiasaan nyadran yang terpengaruh agama hindu dengan tahlilan dan selamatan, ini yang terkaburkan sehingga seperti disesuaikan dengan pendapat kalangan Muhammadiyah yang sekarang.
BalasHapus