Langsung ke konten utama

Nasib yang tengah-tengah

Kemarin malam saya melihat berita tentang Shelly, salah satu peraih UN tertinggi di Indoensia yang mendapat beasiswa ke Universitas Udayana. Dan yang lebih hebatnya lagi dia diperkenankan memilih jurusan apapun yang ia inginkan. Wow.

Saya jadi sedikit berkhayal, coba saja saya yang dapat kesempatan seperti, pasti saya akan memilih jurusan yang saya inginkan dan di kampus yang saya harapkan. Itu Cuma khayalan. Tapi sayangnya saya saat itu tidak sepintar Shelly.

Saya jadi berpikir, bagaimana dengan nasib anak-anak yang kemampuan akademik tidak terlalu memuaskan alias pas-pas’an atau biasa-biasa saja (seperti saya) juga dengan kondisi ekonomi yang juga biasa tapi mempunyai keinginan untuk berkuliah?

Apakah mereka harus berhenti berharap untuk berkuliah, atau tetap berjuang untuk mendapat sebuah beasiswa dengan nama yang kurang enak di dengar “beasiswa kurang mampu”. Karena selama ini pemerintah hanya concern pada hal-hal yang special. Special pintarnya atau special miskinnya. Tapi ada segmen yang terlupa yaitu masyarakat tengah-tengah menuju bawah yang sering kesulitan mengemukakan identitas mereka. Miskin bukan, tapi tidak bisa dibilang berkecukupan.

Padahal saya yakin sekali banyak orang-orang yang punya keinginan untuk kuliah, untuk mengubah nasib, untuk menyentuh mimpi. Tapi tidak punya kapasitas yang cukup, karena tidak cukup pintar dan tidak cukup miskin untuk dibantu.

Dan saya yakin setiap orang di dunia ini mempunyai apa yang namanya bakat. Dan hal itu tidak selalu terlihat dalam bidang akademis. Ya buat Pak SBY, jangan pejabat aja yang diberi fasilitas.

Mudah-mudahan kelak saya bisa sukses, dan saya bisa mencari orang-orang dengan keinginan kuat namun tidak di dukung prestasi akademik yang kuat dan dalam kondisi ekonomi yang tanggung, agar bisa ditolong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Traveling (part 1)

Hei apa kabar my dearest blog? Wah sudah dua tahun ya tidak ada posting sama sekali di blog ini. Bukan tidak ingin untuk menulisa lagi, hanya saja hmmmmm. Okey mari kita lewati memberikan berbagai macam alasan untuk tidak menulis, sekarang saya akan sedikit memberikan pengalaman saya seputar jalan-jalan. Rasanya sudah cukup lama sih tidak menulis sesuatu yang bersifat informatif di blog ini. Tulisan-tulisan terakhir saya berisi cerita-cerita fiksi, keluh kesah, puisi, dan hal-hal yang mungkin kurang informatif dan bermanfaat (tapi cukup menghibur kan?). Bukan sok nasionalis sih, tapi emang Indonesia itu negara yang luas dan punya banyak sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi.   Saya tiba-tiba baru sadar bahwa saya sudah terlalu sering jalan-jalan. Memang sih saya belum bisa dikategorikan sebagai backpacker sejati atau traveler akut. Apalagi kalau mau adu jumlah negara yang dikunjungi, duh saya masih cupu sekali. Selain karena waktu dan ehem budget, saya lebih fokus u

Review: The Other Boleyn Girl

I give 4,5 star from 5 for this movie. Wow. Satu lagi jajaran film yang masuk film kategori “sangat bagus” menurut saya. Saya baru berkesempatan menonton film ini hari ini. Dan ternyata tidak pernah ada kata terlambat untuk film bagus. Ceritanya sendiri sangat complicated, bukan sekedar cinta, tapi juga melibatkan nafsu, ambisi, politik, humanity, dan berbagai kata lain yang akan muncul setelah saya menonton film ini.Film ini sendiri diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karangan dari Philippa Gregory. Saya sebenarnya agak kebingungan apakah ini kisah nyata atau hanya fiksi sebagaian berkata ini fiksi namun ada beberapa hal yang memang bersumber dari sejarah Inggris. Tapi kali ini saya bukan mau concern ke sejarahnya melainkan ke film nya (tapi penasaran dengan sejarah aslinya). Film ini sendiri bukanlah film yang baru sudah ada dari tahun 2008 di luar negeri sana. Saya kurang tau nasib film ini di Indonesia, apa sudah beredar atau tidak. Film ini bercerita tentang sebuah

8 Hari Jelang Premiere

Ternyata saya mengalami ketakutan luar biasa jelang premiere. Takut kalau filmnya malah dihujat orang, takut kalau dengar selentingan "Ih filmnya ga banget deh". Takut juga denger "Duh Sutradaranya payah nih". Dan komentar-komentar lainnya yang bisa menyayat hati. Sumpah. Ini baru pertama kalinya film pendek yang saya sutradarai di putar secara umum. Dan ternyata rasanya lebih fantastis. saya malah jadi takut jangan-jangan tidak ada yang mau nonton film "Senja" lagi. Wajarkan ya kalau sutradara amatir semacam saya mengalami kegugupan ini? Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar. Acaranya banyak yang datang dan tidak mengecewakan. Amien