Langsung ke konten utama

Alas Kaki


Saat itu saya heran kenapa kamu selalu bertelanjang kaki. Kamu tampak seperti orang gila, tidak memakai sandal apalagi sepatu. Saya sempat bingung apa kaki kamu tidak sakit. Menginjak panasnya aspal di siang hari, menginjak bebatuan yang kadang begitu tajamnya untuk diinjak hanya dengan kaki yang begitu polos. Jika dikatakan gila, saya rasa kamu tidak gila. Kamu masih bisa berpikir jernih, kamu masih bisa diajak untuk bertukar pikiran. Kamu masih sadar akan apa yang kamu pilih. Secara fisik, kamu bisa dikatakan cantik. Banyak yang tertarik denganmu, meskipun saat mereka melihat kamu ke arah bawah, mereka langsung berpikir 2 kali untuk menyukai kamu. Kamu nyentrik, kemanapun kamu pergi kamu memang selalu jadi pusat perhatian, bukan hanya karena kamu tidak memakai alas kaki. Tapi ada sesuatu yang kamu pancarkan yang membuat orang-orang di sekitar kamu untuk melirik sedikitnya 5 detik. Saya salah satunya yang tertarik kepadamu. Saya bahkan tidak peduli dengan alas an kamu untuk tidak memakai alas kaki kemanapun kamu pergi.

Kamu tidak suka memakai alas kaki, kamu ternyata tidak tega untuk memakainya. Setiap hari kita menginjaknya, menjadikannya tumpuan setiap berjalan menerjang berbagai sulitnya jalanan di luar sana. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan sandal atau sepatu kita terus saja menggunakannya hanya untuk melindungi kaki kita. Hanya untuk melindungi bagian paling bawah dari tubuh, belum ditambah bau tidak sedap yang kadang kaki kita keluarkan, keringat kaki yang membanjiri sepatu. Kita menginjak dan menginjak, lagi, injak, dan lagi. Betapa egoisnya kita. Saat sandal dan sepatu kita mulai usang, rapuh, lelah melewati berbagai jalan yang kita lewati, kita menelantarkannya, menyimpannya, bahkan membuangnya dan menggantinya dengan yang baru. Kamu sampai berpikir sejauh itu, saya semakin kagum. Namun saya berpikir juga, bukankah sepatu atau sandal itu benda mati? bukankah mereka memang diciptakan untuk diinjak? Kenapa harus tidak tega segala, saya mulai merasa aneh dengan pemikiran kamu. Saya terus berpikir, kamu juga masih memperhatikan cara saya berpikir. Kamu tersenyum perlahan, kamu berkata saya belum benar-benar memahami apa yang kamu maksud. Kamu berkata dengan pelan, bahwa saya belum benar-benar melihat.

Kamu pergi, masih telanjang kaki, dan kamu meninggalkan saya. Kamu tetap memutuskan untuk tidak memakai sandal atau sepatu, seumur hidup kamu. Keputusan yang berani. Sungguh berani, saya saja tidak berani membuat keputusan seperti itu, mencopot alas kaki sebelah saja, belum tentu saya sanggup. Saya berhenti menyukaimu. Karena saya bukan sepatu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat

Beberapa hari ini saya banyak mengingat. Aktivitas yang kadang padatnya minta ampun, kadang juga kosongnya bikin ngelamun. Penyakit lupa saya makin menjadi, menurut mitos katanya yang pelupa itu banyak salah ama orangtua. Tapi secara ilmiah ada yang bilang orang pelupa gara-gara kebanyakan makan makanan yang banyak mengandung MSG. Ya meskipun, masih banyak lagi penyebab-penyebab lupa lainnya, yang saya pun belum tau pasti, saya menjadi pelupa seperti ini gara-gara apa. Saya mencoba meningat-ingat apa-apa saja yang terjadi beberapa hari ini, beberapa minggu ini, beberapa bulan ini, dan beberapa tahun ke belakang. Dan begitu banyak yang terjadi, sampai-sampai saya tida bisa mengingat semuanya, hanya kejadian-kejadian yang menimbulkan kesan khusus yang bisa saya ingat, itu pun samar, entah kesan baik, buruk, sedih, senang, takut, dan lainnya. Saya tidak menyangka saya sudah sampai sejauh ini, begitu banyak yang terlewati begitu saja. Saya tidak pernah menyangka apa yang ada di sekitar

Percaya Diri, Am I?

Hello, sudah lama rasanya tidak menuangkan huruf-huruf di blog ini. Daripada keburu usang dan tua saya akan mencoba menulis tentang PD. PD disini bukan mata kuliah Psikodiagnostik (sebuah mata kuliah berseri paling banyak,sampe 7 lho) yang menghiasi sanubari saya selama kuliah melainkan tentang percaya diri. Mungkin akan banyak yang bilang bahwa saya itu memiliki tingkat PD yang tinggi. Kelihatannya mungkin iya tapi nyatanya dan sejujur-jujurnya saya adalah orang yang pemalu dan mudah minder. That's the truth. Tapi sekarang bisa dibilang sudah agak mendingan dibandingkan dulu lho. Dulu waktu TK sampe SD kelas 2an saya masih suka bersembunyi dibalik ketiak Ibu saya ketika ada Om dan Tante yang ke rumah. Atau bersembunyi di kamar dengan jantung berdebar-debar karena takut ditanya (sekarang juga masih sembunyi di kamar tapi dengan alasan yang berbeda). Dan sedikit-sedikit hal itu mulai berubah ketika saya menyadari bahwa tubuh saya tidak cukup lagi untuk bersembunyi di balik ketiak Ib

Sebuah Hari Istimewa

Semua orang pasti memiliki beberapa tanggal dalam hidupnya yang dijadikan sebagai hari istimewa. Hari yang akan terasa berbeda dari biasanya. Hari dimana kita terkadang tidak bisa tidur karena tidak sabar menanti datangnya esok. Hari dimana jantung kita terasa berdebar lebih cepat dari biasanya. Hari dimana kita tidak sabaran untuk segera menemui hari itu. Itulah sesuatu yang disebut istimewa menurut saya. Ada beberapa hari, diantara 365 hari dalam setahun yang kita tandai. Saya pun memilikinya. Beberapa hari istimewa, entah itu berisi kesenangan atau berbalut kesedihan. Karena sesuatu yang istimewa tidak selalu berisi tawa. Sayangnya tidak semua orang bisa paham akan apa yang kita sebut istimewa. Saya berkata setiap kamis istimewa belum tentu orang pun dapat beranggapan sama atau minimal memahami apa yang kita rasakan saat menghadapi hari itu. Seharusnya saya dapat memahami hal itu, tidak merasa keberatan ketika orang lain menganggap hari itu adalah hari yang biasa saja. Tidak berhak