Saat itu saya heran kenapa kamu selalu bertelanjang kaki. Kamu tampak seperti orang gila, tidak memakai sandal apalagi sepatu. Saya sempat bingung apa kaki kamu tidak sakit. Menginjak panasnya aspal di siang hari, menginjak bebatuan yang kadang begitu tajamnya untuk diinjak hanya dengan kaki yang begitu polos. Jika dikatakan gila, saya rasa kamu tidak gila. Kamu masih bisa berpikir jernih, kamu masih bisa diajak untuk bertukar pikiran. Kamu masih sadar akan apa yang kamu pilih. Secara fisik, kamu bisa dikatakan cantik. Banyak yang tertarik denganmu, meskipun saat mereka melihat kamu ke arah bawah, mereka langsung berpikir 2 kali untuk menyukai kamu. Kamu nyentrik, kemanapun kamu pergi kamu memang selalu jadi pusat perhatian, bukan hanya karena kamu tidak memakai alas kaki. Tapi ada sesuatu yang kamu pancarkan yang membuat orang-orang di sekitar kamu untuk melirik sedikitnya 5 detik. Saya salah satunya yang tertarik kepadamu. Saya bahkan tidak peduli dengan alas an kamu untuk tidak memakai alas kaki kemanapun kamu pergi.
Kamu tidak suka memakai alas kaki, kamu ternyata tidak tega untuk memakainya. Setiap hari kita menginjaknya, menjadikannya tumpuan setiap berjalan menerjang berbagai sulitnya jalanan di luar
Kamu pergi, masih telanjang kaki, dan kamu meninggalkan saya. Kamu tetap memutuskan untuk tidak memakai sandal atau sepatu, seumur hidup kamu. Keputusan yang berani. Sungguh berani, saya saja tidak berani membuat keputusan seperti itu, mencopot alas kaki sebelah saja, belum tentu saya sanggup. Saya berhenti menyukaimu. Karena saya bukan sepatu.
Komentar
Posting Komentar