Kala itu hujan, kala itu basah.
Tapi saya tidak ingin badan saya basah.
Tapi saya ingin merasakan rintikan hujan menghantam kulit saya, hanya rasa itu, tapi saya ingin semua tetap kering.
Wajah saya basah, tersiram air hujan yang turun tanpa ampun.
Hanya wajah saya yang basah. Saya senang akan itu, pembungkus tubuh anti air itu hanya melindungi badan saya, tidak wajah saya, karena andai wajah saya terlindungi saya akan buta sesaat.
Tapi apa bedanya? Toh saya tidak melihat kedepan, karena saya sedang melamun, melihat kedalam pikiran saya yang berputar dengan lambat. Saya bertahan dalam kondisi ini, walaupun hantaman air hujan semakin tajam, dan menyakitkan. Tapi hujan sangat membantu saya, setidaknya air itu membasahi pipi saya yang sudah kering, ingin saya basahi, tapi tidak bisa, hanya air hujan yang bisa menolong saya memperdalam perasaan sedih ini. Setidaknya saya seperti merasakan menangis, walaupun tidak sebenarnya menangis. Mengasihani diri sendiri, tidak akan pernah habis waktu untuk itu.
Hujan berhenti, tapi langit tetap gelap, selalu gelap, sama dengan hati saya, yang jarang dikunjungi oleh hangatnya sinar yang selalu saya dambakan, saya hilang arah lagi.
Saya terus melaju diatas motor ini, tidak ingin berhenti, tapi ingin berhenti, plin-plan, itulah saya. Saya tidak pernah benar-benar yakin akan keputusan yang saya buat, sewaktu-waktu mudah sekali digoyahkan. Saya tidak akan bisa.
Apakah hanya saya yang menilai?
Cepat atau lambat, semua orang menilai, dan nilai itu tidak tetap. Bisa berubah. Jadi cepat atau lambatnya proses menilai, bukan masalah.
Dan kala penilaian disalahkan, dan dicerca habis-habisan, apa yang bisa saya lakukan, karena saya pun sedang dinilai, jadi bedanya apa? Saya terkurung dalam kotak atau lingkaran atau segitiga atau segi-segi lain, lalu orang lain apa semuanya bebas? Tanpa punya penjara dalam pikirannya?
Motor masih melaju, hujan sudah benar-benar berhenti, saya sedih kali ini, tidak ada yang menfasilitasi saya untuk meratapi nasib, karena mata saya, sudah kering. Sulit untuk memperdalam rasa ini.
Iya, saya memang tidak penting, kadang saya berpikir, saya tidak adapun di dunia, dunia tidak akan kena masalah apa-apa, dan tidak akan berimbas pada kehidupan orang-orang di sekitar saya sekarang, saya tidak ada pun tidak apa-apa, jadi apa pentingnya saya, selain hanya membuat ketidaknyamanan orang-orang. Apa saya punya manfaat bagi orang lain? Saya rasa tidak, saya tidak berperan apa-apa dalam hidup orang-orang di sekitar saya. Jika mengakhiri hidup itu dihalalkan, mungkin saya akan memilih itu, toh alas an saya untuk hidup semakin berkurang. Hopelessness, mulai menyelimuti.
Saya pun berhenti, saya sampai dirumah. Dengan kondisi basah di bagian luar, kering bagian dalam, seperti diri saya, basah, namun kering.
Saya membuka pintu rumah, mengucapkan salam, tersenyum pada orang-orang di rumah, menaiki tangga, membuka pintu kamar, menyalakan TV, menghidupkan radio, membiarkan suara-suara saling beradu, naik keatas kasur, memakai selimut, tidur.
Ternyata saya masih bisa tidur, dengan tenang, alasan untuk hidup saat ini:
-melelahkan diri seharian, demi tidur yang nyenyak.
photo from:http://irwanbajang.kemudian.com/files/2009/02/rain1.jpg
[Self handicapping mode: on]
Komentar
Posting Komentar