Langsung ke konten utama


tiba-tiba hujan turun.


Kala itu hujan, kala itu basah.

Tapi saya tidak ingin badan saya basah.

Tapi saya ingin merasakan rintikan hujan menghantam kulit saya, hanya rasa itu, tapi saya ingin semua tetap kering.

Wajah saya basah, tersiram air hujan yang turun tanpa ampun.

Hanya wajah saya yang basah. Saya senang akan itu, pembungkus tubuh anti air itu hanya melindungi badan saya, tidak wajah saya, karena andai wajah saya terlindungi saya akan buta sesaat.

Tapi apa bedanya? Toh saya tidak melihat kedepan, karena saya sedang melamun, melihat kedalam pikiran saya yang berputar dengan lambat. Saya bertahan dalam kondisi ini, walaupun hantaman air hujan semakin tajam, dan menyakitkan. Tapi hujan sangat membantu saya, setidaknya air itu membasahi pipi saya yang sudah kering, ingin saya basahi, tapi tidak bisa, hanya air hujan yang bisa menolong saya memperdalam perasaan sedih ini. Setidaknya saya seperti merasakan menangis, walaupun tidak sebenarnya menangis. Mengasihani diri sendiri, tidak akan pernah habis waktu untuk itu.

Hujan berhenti, tapi langit tetap gelap, selalu gelap, sama dengan hati saya, yang jarang dikunjungi oleh hangatnya sinar yang selalu saya dambakan, saya hilang arah lagi.

Saya terus melaju diatas motor ini, tidak ingin berhenti, tapi ingin berhenti, plin-plan, itulah saya. Saya tidak pernah benar-benar yakin akan keputusan yang saya buat, sewaktu-waktu mudah sekali digoyahkan. Saya tidak akan bisa.

Apakah hanya saya yang menilai?

Cepat atau lambat, semua orang menilai, dan nilai itu tidak tetap. Bisa berubah. Jadi cepat atau lambatnya proses menilai, bukan masalah.

Dan kala penilaian disalahkan, dan dicerca habis-habisan, apa yang bisa saya lakukan, karena saya pun sedang dinilai, jadi bedanya apa? Saya terkurung dalam kotak atau lingkaran atau segitiga atau segi-segi lain, lalu orang lain apa semuanya bebas? Tanpa punya penjara dalam pikirannya?

Motor masih melaju, hujan sudah benar-benar berhenti, saya sedih kali ini, tidak ada yang menfasilitasi saya untuk meratapi nasib, karena mata saya, sudah kering. Sulit untuk memperdalam rasa ini.

Iya, saya memang tidak penting, kadang saya berpikir, saya tidak adapun di dunia, dunia tidak akan kena masalah apa-apa, dan tidak akan berimbas pada kehidupan orang-orang di sekitar saya sekarang, saya tidak ada pun tidak apa-apa, jadi apa pentingnya saya, selain hanya membuat ketidaknyamanan orang-orang. Apa saya punya manfaat bagi orang lain? Saya rasa tidak, saya tidak berperan apa-apa dalam hidup orang-orang di sekitar saya. Jika mengakhiri hidup itu dihalalkan, mungkin saya akan memilih itu, toh alas an saya untuk hidup semakin berkurang. Hopelessness, mulai menyelimuti.

Saya pun berhenti, saya sampai dirumah. Dengan kondisi basah di bagian luar, kering bagian dalam, seperti diri saya, basah, namun kering.

Saya membuka pintu rumah, mengucapkan salam, tersenyum pada orang-orang di rumah, menaiki tangga, membuka pintu kamar, menyalakan TV, menghidupkan radio, membiarkan suara-suara saling beradu, naik keatas kasur, memakai selimut, tidur.

Ternyata saya masih bisa tidur, dengan tenang, alasan untuk hidup saat ini:

-melelahkan diri seharian, demi tidur yang nyenyak.

Demi tidur.

photo from:http://irwanbajang.kemudian.com/files/2009/02/rain1.jpg


[Self handicapping mode: on]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat

Beberapa hari ini saya banyak mengingat. Aktivitas yang kadang padatnya minta ampun, kadang juga kosongnya bikin ngelamun. Penyakit lupa saya makin menjadi, menurut mitos katanya yang pelupa itu banyak salah ama orangtua. Tapi secara ilmiah ada yang bilang orang pelupa gara-gara kebanyakan makan makanan yang banyak mengandung MSG. Ya meskipun, masih banyak lagi penyebab-penyebab lupa lainnya, yang saya pun belum tau pasti, saya menjadi pelupa seperti ini gara-gara apa. Saya mencoba meningat-ingat apa-apa saja yang terjadi beberapa hari ini, beberapa minggu ini, beberapa bulan ini, dan beberapa tahun ke belakang. Dan begitu banyak yang terjadi, sampai-sampai saya tida bisa mengingat semuanya, hanya kejadian-kejadian yang menimbulkan kesan khusus yang bisa saya ingat, itu pun samar, entah kesan baik, buruk, sedih, senang, takut, dan lainnya. Saya tidak menyangka saya sudah sampai sejauh ini, begitu banyak yang terlewati begitu saja. Saya tidak pernah menyangka apa yang ada di sekitar

Percaya Diri, Am I?

Hello, sudah lama rasanya tidak menuangkan huruf-huruf di blog ini. Daripada keburu usang dan tua saya akan mencoba menulis tentang PD. PD disini bukan mata kuliah Psikodiagnostik (sebuah mata kuliah berseri paling banyak,sampe 7 lho) yang menghiasi sanubari saya selama kuliah melainkan tentang percaya diri. Mungkin akan banyak yang bilang bahwa saya itu memiliki tingkat PD yang tinggi. Kelihatannya mungkin iya tapi nyatanya dan sejujur-jujurnya saya adalah orang yang pemalu dan mudah minder. That's the truth. Tapi sekarang bisa dibilang sudah agak mendingan dibandingkan dulu lho. Dulu waktu TK sampe SD kelas 2an saya masih suka bersembunyi dibalik ketiak Ibu saya ketika ada Om dan Tante yang ke rumah. Atau bersembunyi di kamar dengan jantung berdebar-debar karena takut ditanya (sekarang juga masih sembunyi di kamar tapi dengan alasan yang berbeda). Dan sedikit-sedikit hal itu mulai berubah ketika saya menyadari bahwa tubuh saya tidak cukup lagi untuk bersembunyi di balik ketiak Ib

Sebuah Hari Istimewa

Semua orang pasti memiliki beberapa tanggal dalam hidupnya yang dijadikan sebagai hari istimewa. Hari yang akan terasa berbeda dari biasanya. Hari dimana kita terkadang tidak bisa tidur karena tidak sabar menanti datangnya esok. Hari dimana jantung kita terasa berdebar lebih cepat dari biasanya. Hari dimana kita tidak sabaran untuk segera menemui hari itu. Itulah sesuatu yang disebut istimewa menurut saya. Ada beberapa hari, diantara 365 hari dalam setahun yang kita tandai. Saya pun memilikinya. Beberapa hari istimewa, entah itu berisi kesenangan atau berbalut kesedihan. Karena sesuatu yang istimewa tidak selalu berisi tawa. Sayangnya tidak semua orang bisa paham akan apa yang kita sebut istimewa. Saya berkata setiap kamis istimewa belum tentu orang pun dapat beranggapan sama atau minimal memahami apa yang kita rasakan saat menghadapi hari itu. Seharusnya saya dapat memahami hal itu, tidak merasa keberatan ketika orang lain menganggap hari itu adalah hari yang biasa saja. Tidak berhak