Langsung ke konten utama

Warung Kopi Makmur : Berita

“Masih buka mbak?” tiba-tiba ada seorang perempuan bertanya ketika Ranti sedang sibuk menghitung omzet harian dari warung kopi milik mertuanya itu. Pandangannya teralih dari bon-bon yang menumpuk ke sosok seorang perempuan yang bertanya itu. “Sudah tutup mbak, warung ini buka sampai jam 4 sore saja” jawab Ranti dengan sopan. Perempuan itu terlihat kecewa dengan jawabannya. Ranti mengamati perempuan itu dengan seksama. Wajah perempuan itu berkeringat dan rambutnya acak-acakan, sepertinya ia baru saja berjalan jauh dari suatu tempat.”Kalau gitu boleh mbak saya duduk disini bentar? 15 menit sambil mbak ngitung-ngitung” perempuan itu kembali berusaha. Ranti merasa tidak tega, apalagi ia sama-sama wanita. Perempuan itu memang terlihat sangat kelelahan. “Kalau gitu silahkan mbak, kayaknya mbak kecapekan, abis jalan jauh ya?” ucap Ranti sambil mempersilahkan perempuan itu masuk. 

Perempuan itu langsung menyambut ajakan Ranti untuk masuk, tanpa berpikir panjang ia langsung duduk sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan Ranti barusan. Ia malah memejamkan matanya. Ranti pun semakin tidak tega dan berinisiatif untuk memberikannya secangkir teh. “Mbak mau teh?” Ranti menawarkan dengan suara yang agak hati-hati karena perempuan itu masih memejamkan matanya. “Kopi boleh?” jawab perempuan itu. Ranti memberikan aba-aba ke karyawannya untuk membuat kopi. “Makasih ya mbak” ucap perempuan itu dengan suara pelan. Ranti merasa bahwa perempuan ini sedang memikirkan sesuatu, dengan rasa penasaran Ranti mencoba untuk bertanya. “Mbak keliatannya capek banget, dari mana memang?”. 

“Abis keliling mbak cari orang” jawabnya perempuan itu singkat agak terdengar ketus. Ranti belum puas dengan jawaban darinya. Ia kembali bertanya pada perempuan itu. “Cari siapa Mbak? Kayaknya Mbak bukan orang sini ya, logatnya kayak orang Jakarta”. Perempuan itu menundukan kepalanya dengan pandangan lurus ke bawah meja. Ranti merasa bahwa perempuan itu tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia berikan,  ia menyerah.  “Ya udah mbak saya ga mau ganggu selamat menikmati kopinya ya mbak” ucap Ranti lalu kembali menghitung bon-bon yang masih menggunung itu.

“Gue Tami, Lo dari Jakarta juga ya?” tiba-tiba  perempuan itu bersuara lagi setelah beberapa menit terjadi keheningan diantara keduanya. Kopi telah tersaji di meja.  Ranti pun tak lama mendekat ke meja Tami kemudian mereka duduk berhadapan. “Padahal gue udah latihan berbulan-bulan biar bisa bahasa di sini, tapi tetep keliatan ya. Senengnya udah lama ga pake kata Gue-Lo, Gue Ranti” Ranti tertawa dengan antusias memperkenalkan dirinya. Tami hanya membalasnya dengan senyuman, sadar Tami tidak ingin bercanda Ranti berusaha mengubah kembali raut wajahnya jadi serius lagi. Canggung. 

“Jadi?”

“Gue ke kota ini cari orang, laki-laki” Tami membuka ceritanya. Dengan wajah serius Ranti menyimak semua ucapan Tami kata demi kata. Akhirnya Ranti paham bahwa Tami sedang mencari seorang laki-laki yang ia cintai. Laki-laki yang ia cintai itu juga sialnya adalah laki-laki yang mengambil keperawanan Tami. Setelah 3x Tami melakukan hubungan badan dengan laki-laki tersebut, tiba-tiba laki-laki itu hilang tanpa jejak. Tami merasa bodoh karena ia baru mengenal laki-laki itu di sebuah tempat karaoke. Tami memang bekerja di tempat karaoke sebagai pemandu lagu. Walaupun sering kali ia mendapat pelecehan dari pengunjung-pengunjungnya Tami tidak pernah sekalipun menjual atau memberikan keperawanannya. Meskipun terkadang Tami menambah pemasukannya dengan memberikan keleluasaan pengunjung untuk sekedar meraba-raba bagian tubuhnya tapi tidak begitu dengan keperawanannya. “Biarlah badan gue abis digrepe-grepe Om-om idung belang asal gue masih punya keperawanan buat orang yang gue cinta nanti!” Tami menjelaskan. Ranti agak kaget, dia tidak menyangka bahwa ia akan mendengar cerita Tami sampai se-detail ini. Kini Ranti semakin penasaran dengan kelanjutannya. Ranti masih duduk manis dengan tampang serius sambil mengangguk-anggukan wajahnya sementara Tami terus bercerita. 

“Yang ini beda Ran, yang satu ini beda banget” Tami menghela nafas sambil berusaha kembali mengingat semua kejadian agar tidak ada yang terlewat. Tami kedatangan tamu seperti hari-hari biasanya. Laki-laki itu tidak terlalu tua mungkin sekitar 30an. Dia datang sendiri, Tami berusaha tetap professional sambil sesekali menggodanya. Laki-laki itu selalu tersenyum setiap Tami berusaha menggodanya. Laki-laki itu tidak sedikitpun menyentuh bagian tubuh Tami. Dia hanya mengajak Tami mengobrol sambil sesekali bercanda. Mereka bernyanyi dengan sumbangnya sambil tertawa-tawa tanpa peduli siapapun. Tami tidak bisa menyangkal bahwa malam itu sungguh berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tami sedikit bahagia malam itu. Tanpa diduga laki-laki itu meminta nomer telponnya, Tami senang bukan main. Tami berpikir bahwa laki-laki ini akan menyelamatkannya dari dunia malam  yang kelam ini. Tami kemudian berkhayal jauh.  

Tidak menunggu berhari-hari, esok paginya mereka berdua berkencan layaknya pasangan ABG. Ketika itu semua terasa benar dan nyata bagi Tami. Tami sudah lama tidak merasakan kebahagiaan seperti itu. Hati-nya sudah lama kosong, ditambah pekerjaannya membuat banyak laki-laki mundur untuk berhubungan serius. Sampai pada malam harinya, Tami terbawa suasana romantis itu dan merelakan keperawanannya diambil oleh laki-laki itu. Tami sungguh bahagia malam itu hingga 3 malam berikutnya. 

“Dia baik banget, Mas Herman beda banget sama laki-laki yang lain. Dia tau kerjaan gue ini kayak sampah, cuman dia ga takut jalan sama sampah. Dia ga jijik sama gue Ran” Tami meneguk cangkir kopinya. Ranti masih menyimak. Ranti akhirnya mengetahui bahwa nama laki-laki itu Herman. “Trus Mas Herman itu kemana?” tanya Ranti agar Tami melanjutkan ceritanya. “Dia ngilang gitu aja, gue tau dari awal kalau dia cuman dateng ke Jakarta sebentar, gue sempet liat alamat KTP-nya yang gue inget cuman nama kota ini, Muara Bungo”.

“Tam, banyak banget yang namanya Herman dan lo ga punya petunjuk apapun lagi” ucap Ranti. Tami terdiam. Tami setuju bahwa mencari seorang bernama Herman di kota ini walaupun kota kecil bukan perkara mudah. Tami hanya membawa keyakinan bahwa ia akan menemukan Herman di kota ini. Ranti mulai ikut berpikir, entah kenapa hal ini membuatnya resah juga. “Tam, memang kalau ketemu, Lo mau ngapain?” tanya Ranti lagi. “Gue telat 2 minggu Ran, gue beli test-pack tapi hasilnya belum gue buka. Gue kesini bukan mau minta si Herman nikah sama gue atau tanggung jawab kalau perut gue isi, bukan Ran!  Gue cuman pengen dia liat hasil test pack itu trus bilang gue positif apa engga,  kita ngelakuin sama-sama seenganya tau hasilnya sama-sama” mata Tami mulai berkaca-kaca. Ada kepedihan mendalam yang ia pendam dan akhirnya sedikit terlampiaskan dengan bercerita pada Ranti. “Cuman itu? Kalau misalnya positif? Apa lu yakin ga minta dia tanggung jawab?” Ranti kembali bertanya. 

“Gue udah kecewa sama dia, gue ga mau nikah sama laki-laki brengsek itu. Gue cuman pengen dia tau udah itu aja. Gue ga siap Ran untuk tau gue hamil, gue perlu laki-laki yang ngehamilin gue tau bahwa dia abis buntingin anak orang”

“Tapi lu harus tau segera apa hasil test pack itu Tam, biar lu ada kepastian” 

“Herman sialan itu dia dimana sih!”

“Tenang-tenang, gue tau ini berat banget pasti tapi percuma lu mengumpat toh dia ga denger”

“Gue harus balik Ran, rasanya sia-sia gue kesini, boleh gue minta tolong?”

“Apa Tam?” Ranti terlihat bingung dan menerka-nerka apa yang akan diminta oleh Tami. Tami kemudian merogoh sesuatu dari tasnya. Sebuah benda yang dibungkus plastik hitam. “Ini Ran” Tami menyerahkan benda itu. “Gue pergi dari sini, gue mau balik ke Jakarta. Gue minta tolong lu buat liatin hasil test pack ini, kalau hasilnya positif lu jangan panggil gue. Tapi kalau negatif lu panggil gue. Lu buka ini setelah gue jalan agak jauh dari warung lu ini, bisa?”. Ranti ragu dan ingin memberikan opsi lain kepada Tami, tapi Ranti berusaha memenuhi permintaan Tami. Ranti mengangguk pertanda setuju. Tami mengangkat tasnya dan berdiri dari kursinya. “Makasih ya Ran kopinya, warung kopi lu bagus, oh iya kalau lu ketemu yang namanya Herman lu sampein ya kalau ada cewek yang cariin dia. Biar si Cina itu sedikitnya mikir!”. Tami meninggalkan warung itu berjalan pelan. Harapannya hanya satu hasil test pack itu negatif. Tami berjalan terus menjauh dan semakin jauh. Tidak didengarnya satupun suara yang memanggilnya. Air matanya tak lama jatuh. 

Positif. Ranti ingin rasanya mengejar Tami dan memeluknya. Tapi Ranti berusaha menghargai permintaan Tami untuk tidak memanggilnya jika hasilnya positif. Mereka baru saling mengenal tapi Ranti bisa merasakan kepedihan itu.  

Tami sudah tidak terlihat. Cina. Herman. Ranti lemas. Kegelisahannya dari tadi ternyata membawanya ke satu kesimpulan dan keyakinan. Herman, suaminya yang Tami maksud,  ia sangat yakin itu suaminya. Banyak pertanyaan berputar di kepalanya. Badannya lemas, hatinya gelisah.  Ranti  duduk dengan tatapan kosong  di warung kopinya sambil berkata dengan lesu,  “Herman”. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat

Beberapa hari ini saya banyak mengingat. Aktivitas yang kadang padatnya minta ampun, kadang juga kosongnya bikin ngelamun. Penyakit lupa saya makin menjadi, menurut mitos katanya yang pelupa itu banyak salah ama orangtua. Tapi secara ilmiah ada yang bilang orang pelupa gara-gara kebanyakan makan makanan yang banyak mengandung MSG. Ya meskipun, masih banyak lagi penyebab-penyebab lupa lainnya, yang saya pun belum tau pasti, saya menjadi pelupa seperti ini gara-gara apa. Saya mencoba meningat-ingat apa-apa saja yang terjadi beberapa hari ini, beberapa minggu ini, beberapa bulan ini, dan beberapa tahun ke belakang. Dan begitu banyak yang terjadi, sampai-sampai saya tida bisa mengingat semuanya, hanya kejadian-kejadian yang menimbulkan kesan khusus yang bisa saya ingat, itu pun samar, entah kesan baik, buruk, sedih, senang, takut, dan lainnya. Saya tidak menyangka saya sudah sampai sejauh ini, begitu banyak yang terlewati begitu saja. Saya tidak pernah menyangka apa yang ada di sekitar

Percaya Diri, Am I?

Hello, sudah lama rasanya tidak menuangkan huruf-huruf di blog ini. Daripada keburu usang dan tua saya akan mencoba menulis tentang PD. PD disini bukan mata kuliah Psikodiagnostik (sebuah mata kuliah berseri paling banyak,sampe 7 lho) yang menghiasi sanubari saya selama kuliah melainkan tentang percaya diri. Mungkin akan banyak yang bilang bahwa saya itu memiliki tingkat PD yang tinggi. Kelihatannya mungkin iya tapi nyatanya dan sejujur-jujurnya saya adalah orang yang pemalu dan mudah minder. That's the truth. Tapi sekarang bisa dibilang sudah agak mendingan dibandingkan dulu lho. Dulu waktu TK sampe SD kelas 2an saya masih suka bersembunyi dibalik ketiak Ibu saya ketika ada Om dan Tante yang ke rumah. Atau bersembunyi di kamar dengan jantung berdebar-debar karena takut ditanya (sekarang juga masih sembunyi di kamar tapi dengan alasan yang berbeda). Dan sedikit-sedikit hal itu mulai berubah ketika saya menyadari bahwa tubuh saya tidak cukup lagi untuk bersembunyi di balik ketiak Ib

Sebuah Hari Istimewa

Semua orang pasti memiliki beberapa tanggal dalam hidupnya yang dijadikan sebagai hari istimewa. Hari yang akan terasa berbeda dari biasanya. Hari dimana kita terkadang tidak bisa tidur karena tidak sabar menanti datangnya esok. Hari dimana jantung kita terasa berdebar lebih cepat dari biasanya. Hari dimana kita tidak sabaran untuk segera menemui hari itu. Itulah sesuatu yang disebut istimewa menurut saya. Ada beberapa hari, diantara 365 hari dalam setahun yang kita tandai. Saya pun memilikinya. Beberapa hari istimewa, entah itu berisi kesenangan atau berbalut kesedihan. Karena sesuatu yang istimewa tidak selalu berisi tawa. Sayangnya tidak semua orang bisa paham akan apa yang kita sebut istimewa. Saya berkata setiap kamis istimewa belum tentu orang pun dapat beranggapan sama atau minimal memahami apa yang kita rasakan saat menghadapi hari itu. Seharusnya saya dapat memahami hal itu, tidak merasa keberatan ketika orang lain menganggap hari itu adalah hari yang biasa saja. Tidak berhak