Langsung ke konten utama

Bulan Ketiga

Perayaan ulang tahun terakhir Papa yang ke 57. Miss you Pap.

Sudah lama rasanya tidak mengisi ruangan di blog ini dengan tulisan-tulisan. Biasanya, setidaknya satu tulisan terposting setiap bulannya. Barulah sekarang saya tergerak kembali untuk menulis. Kali ini tentang ayah saya. Sudah 80 hari rasanya Papa meninggalkan dunia ini. Saya mencoba kembali mengingat kronologisnya. Pagi itu, Minggu 10 Februari 2013 tiba-tiba saya sangat terkejut ketika ada sebuah telpon yang membangunkan saya. Maklumlah waktu itu hari minggu sehingga saya manfaatkan untuk bangun lebih siang dari biasanya. Minggu itu pun saya tidak pulang ke Bandung karena memang saya baru membiasakan diri untuk pulang 2 minggu sekali, tujuannya untuk menghemat uang. Saya ditelpon ketika itu sekitar jam 9 pagi. Saya terbangun dan membuka sudah ada belasan missed calls dari Mama. Saya mulai bingung, tumben-tumbennya sampai ditelpon berkali-kali. Lalu handphone saya bergetar lagi, kali ini saya berhasil menangkatnya. Terdengar suara halo, namun bukan suara Mama. Kemudian sebuah kalimat terdengar dari adik saya, Rico. “Bang Papa udah ga ada”. Tau rasanya seperti apa? Rasanya jantung saya seperti akan lepas, seperti naik wahana di Dunia Fantasi, namun lebih emosional dari itu. Badan terasa lemas dan saya sangat kebingungan apa yang harus saya lakukan. Sebuah pertanyaan besar muncul, “Kok bisa?”.

Pertanyaan itulah yang saya bawa selama perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Perjalanan yang harus saya tempuh sekitar 3 setengah jam, rasanya seperti perjalanan berhari-hari. Jantung berdebar lebih cepat, rasa cemas muncul tak karuan, air mata yang tidak sanggup saya tahan. Perjalanan paling mengusik emosi sepanjang hidup saya. Yang saya tuju saat itu satu, saya ingin bertemu dengan Papa untuk terakhir kalinya. Sepanjang perjalanan itu, saya masih bertanya-tanya tentang penyebab meninggalnya Papa. Kakak saya berusaha menjelaskan namun saat itu suaranya bercampur dengan rasa sesak yang membuat saya semakin pilu. Tidak ada kejelasan yang saya dapat dari telpon Kakak.

Sesampainya di Bandung, saya dijemput oleh sahabat-sahabat saya yang sudah lebih dahulu sampai. Miris bukan? Anaknya sendiri yang malah terlambat sampai. Saat sampai ternyata saya hanya sempat menyolati Papa. Saya sama sekali tidak percaya bahwa yang sedang saya sholati adalah Papa.  Mata saya tidak bisa berhenti menangis, begini rasanya kehilangan sosok yang paling penting dalam hidup. Pilu, sedih, tidak percaya, dan sulit untuk menerimanya.

Akhirnya saya mendapatkan jawaban jelas, Papa meninggal dengan sederhananya. Tanpa penyakit yang aneh-aneh. Tanpa perawatan berbulan-bulan. Hari Minggu pagi, Papa sedang membantu Mama memasak di dapur.  Rutinitas orang tua saya setiap harinya. Mereka berdua sedang romantic-romantisnya! Tiba-tiba Papa jatuh kemudian sesak dan seketika meninggal. Saat itu Mama saya masih yakin bahwa Papa hanya pingsan. Sedangkan Kakak saya sudah tau bahwa Papa sudah tidak bernyawa lagi. Tapi Mama masih berusaha untuk membawa ke Rumah Sakit. Sampai di Rumah Sakit, Papa sama sekali tidak bisa tertolong lagi. Tangisan pecah dan seluruh keluarga histeris. Saat itu saya dimana? Saya masih tertidur pulas di kostan. Saya tidak berada disana, tidak ikut menyaksikan detik demi detiknya. Saya merasa sangat terpukul ketika mengetahui kabar tersebut, ditambah saya tidak sempat berada di momen-momen terakhir bersamanya.

Dulu hubungan saya dengan Papa bisa dibilang tidak begitu harmonis. Layaknya ayah dan anak pada umumnya. Canggung, kaku, dan keras. Bahkan dulu saya sempat membencinya karena banyak hal. Papa sudah mulai berubah sejak saya mulai SMA. Dia sudah mulai lebih perhatian dan berusha untuk menjadi ayah yang baik. Sayangnya saya masih menganggap itu palsu dan menolak seluruh ungkapan rasa sayangnya kepada saya. Saya mulai merasa benar-benar “terhubung” dengan Papa 3 tahun terakhir ini. Papa selalu mendukung apapun yang saya lakukan. Papa juga selalu memberika apresiasi terhadap apa saya kerjakan. Saya baru saja merasakan benar-benar memiliki sosok seorang ayah dari Papa baru rasanya baru sebentar saja. Papa benar-benar berubah, menjadi sosok ayah yang menyenangkan. Papa yang total mendukung kepindahan saya ke Jakarta juga pilihan karir yang saya buat. Setiap saya pulang ke Bandung dengan tampang lesu Papa selalu berkata “Pokoknya jangan patah semangat, hidup itu berjuang, selagi masih bisa berjuang! Bisa pasti!” dengan suara khas Papa yang benar-benar membuat saya rindu. Seorang teman saya mengatakan bahwa mungkin tugas Papa memang benar-benar telah selesai. Ya mungkin sudah selesai. Tapi semangat dan dukungannya kepada saya tetap akan saya bawa selama saya hidup. Semoga Papa bangga dengan prestasi saya yang belum banyak ini. Tapi saya yakin Papa selalu bangga memiliki kelima anaknya. Papa sempat menatap saya cukup lama sambil mengusap-ngusap punggung saya dengan wajah tersenyum ketika saya memakai toga. Papa hanya mengucapkan “Akhirnya ada juga anak Papa yang Sarjana”.

Papa tidak pernah memaksakan kehendaknya pada anaknya. Tidak satupun Papa menuntut anaknya untuk menjadi sosok seseorang. Papa selalu mengajarkan untuk mengerjakan apa yang kita sukai dan menjadi diri sendiri. Semoga Allah memberikan tempat yang nyaman disana ya Pa. I love you Pa for real.

*terima kasih kepada seluruh doa dan dukungan sahabat, saudara, dan teman-teman semuanya ketika saya menghadapi saat-saat terberat waktu itu, saya menjadi sadar bahwa ternyata banyak yang masih memperhatikan saya, terima kasih semuanya*

Lebaran tahun ini ada yang berubah. :(

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat

Beberapa hari ini saya banyak mengingat. Aktivitas yang kadang padatnya minta ampun, kadang juga kosongnya bikin ngelamun. Penyakit lupa saya makin menjadi, menurut mitos katanya yang pelupa itu banyak salah ama orangtua. Tapi secara ilmiah ada yang bilang orang pelupa gara-gara kebanyakan makan makanan yang banyak mengandung MSG. Ya meskipun, masih banyak lagi penyebab-penyebab lupa lainnya, yang saya pun belum tau pasti, saya menjadi pelupa seperti ini gara-gara apa. Saya mencoba meningat-ingat apa-apa saja yang terjadi beberapa hari ini, beberapa minggu ini, beberapa bulan ini, dan beberapa tahun ke belakang. Dan begitu banyak yang terjadi, sampai-sampai saya tida bisa mengingat semuanya, hanya kejadian-kejadian yang menimbulkan kesan khusus yang bisa saya ingat, itu pun samar, entah kesan baik, buruk, sedih, senang, takut, dan lainnya. Saya tidak menyangka saya sudah sampai sejauh ini, begitu banyak yang terlewati begitu saja. Saya tidak pernah menyangka apa yang ada di sekitar

Percaya Diri, Am I?

Hello, sudah lama rasanya tidak menuangkan huruf-huruf di blog ini. Daripada keburu usang dan tua saya akan mencoba menulis tentang PD. PD disini bukan mata kuliah Psikodiagnostik (sebuah mata kuliah berseri paling banyak,sampe 7 lho) yang menghiasi sanubari saya selama kuliah melainkan tentang percaya diri. Mungkin akan banyak yang bilang bahwa saya itu memiliki tingkat PD yang tinggi. Kelihatannya mungkin iya tapi nyatanya dan sejujur-jujurnya saya adalah orang yang pemalu dan mudah minder. That's the truth. Tapi sekarang bisa dibilang sudah agak mendingan dibandingkan dulu lho. Dulu waktu TK sampe SD kelas 2an saya masih suka bersembunyi dibalik ketiak Ibu saya ketika ada Om dan Tante yang ke rumah. Atau bersembunyi di kamar dengan jantung berdebar-debar karena takut ditanya (sekarang juga masih sembunyi di kamar tapi dengan alasan yang berbeda). Dan sedikit-sedikit hal itu mulai berubah ketika saya menyadari bahwa tubuh saya tidak cukup lagi untuk bersembunyi di balik ketiak Ib

Sebuah Hari Istimewa

Semua orang pasti memiliki beberapa tanggal dalam hidupnya yang dijadikan sebagai hari istimewa. Hari yang akan terasa berbeda dari biasanya. Hari dimana kita terkadang tidak bisa tidur karena tidak sabar menanti datangnya esok. Hari dimana jantung kita terasa berdebar lebih cepat dari biasanya. Hari dimana kita tidak sabaran untuk segera menemui hari itu. Itulah sesuatu yang disebut istimewa menurut saya. Ada beberapa hari, diantara 365 hari dalam setahun yang kita tandai. Saya pun memilikinya. Beberapa hari istimewa, entah itu berisi kesenangan atau berbalut kesedihan. Karena sesuatu yang istimewa tidak selalu berisi tawa. Sayangnya tidak semua orang bisa paham akan apa yang kita sebut istimewa. Saya berkata setiap kamis istimewa belum tentu orang pun dapat beranggapan sama atau minimal memahami apa yang kita rasakan saat menghadapi hari itu. Seharusnya saya dapat memahami hal itu, tidak merasa keberatan ketika orang lain menganggap hari itu adalah hari yang biasa saja. Tidak berhak