Langsung ke konten utama

The highest level of relationship

Apa level tertinggi dari suatu hubungan? Cinta? Saya jadi sedikit berpikir mengenai hal itu. Apakah tujuan kita dalam menjalin suatu hubungan? Apakah tujuan kita untuk menikah? Saya pernah berbincang dengan salah satu teman saya mengenai married without sex apa rasanya, apakah bisa bertahan atau tidak. Padahal kan katanya cinta, sayang, and so on. Tapi saat kita dihadapkan pada pertanyaan, kamu mau sebuah kondisi married without sex? There’s just only love. Saya mendengar salah satu dosen saya berkata bahwa cinta itu adalah hal spiritual. Kalau kontak fisik itu bukanlah hal yang bisa disangkutpautkan dengan cinta. Lho itu kan ekspresi dari cinta bukan? Tanya lagi how many percent love, and how many percent lust?

Saya bukan seorang Freudian yang sangat concern mengenai libido, tapi saya jadi berpikir begini, apakah tujuan akhir dari suatu hubungan adalah tempat tidur? Terlalu dangkal untuk menyimpulkan hal itu, tapi banyak orang yang dengan embel-embel cinta harus sampai berkorban di tempat tidur. Itukah cinta?

Mungkin pertanyaan dan pernyataan saya akan disangkal oleh banyak pihak. Cinta itu kan tentang kehangatan yang dibagi satu sama lain. Itu mungkin konsep muluk yang kita punya kan? Tapi kembali kita punya basic needs yang bisa-bisa sangat mendominasi kita. Bisa jadi seseorang menikah hanya untuk melegalkan hubungan sex dengan pasangannya. Saya sangat tau diluaran sana banyak pasangan yang bertahan hanya dengan bermodalkan cinta. Tapi mungkin bisa dihitung dengan jari. Pasangan-pasangan tersebut mungkin sudah bisa membedakan mana yang nafsu mana yang cinta. Saya sebagai manusia yang benar-benar biasa mencoba memisahkan keduanya, untuk mendapatkan ekstrak dari cinta itu sendiri.

Value yang kita punya masing-masing pun mungkin turut berperan dalam memandang apa level tertinggi dari suatu hubungan. Thanks.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Traveling (part 1)

Hei apa kabar my dearest blog? Wah sudah dua tahun ya tidak ada posting sama sekali di blog ini. Bukan tidak ingin untuk menulisa lagi, hanya saja hmmmmm. Okey mari kita lewati memberikan berbagai macam alasan untuk tidak menulis, sekarang saya akan sedikit memberikan pengalaman saya seputar jalan-jalan. Rasanya sudah cukup lama sih tidak menulis sesuatu yang bersifat informatif di blog ini. Tulisan-tulisan terakhir saya berisi cerita-cerita fiksi, keluh kesah, puisi, dan hal-hal yang mungkin kurang informatif dan bermanfaat (tapi cukup menghibur kan?). Bukan sok nasionalis sih, tapi emang Indonesia itu negara yang luas dan punya banyak sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi.   Saya tiba-tiba baru sadar bahwa saya sudah terlalu sering jalan-jalan. Memang sih saya belum bisa dikategorikan sebagai backpacker sejati atau traveler akut. Apalagi kalau mau adu jumlah negara yang dikunjungi, duh saya masih cupu sekali. Selain karena waktu dan ehem budget, saya lebih fokus u

Review: The Other Boleyn Girl

I give 4,5 star from 5 for this movie. Wow. Satu lagi jajaran film yang masuk film kategori “sangat bagus” menurut saya. Saya baru berkesempatan menonton film ini hari ini. Dan ternyata tidak pernah ada kata terlambat untuk film bagus. Ceritanya sendiri sangat complicated, bukan sekedar cinta, tapi juga melibatkan nafsu, ambisi, politik, humanity, dan berbagai kata lain yang akan muncul setelah saya menonton film ini.Film ini sendiri diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karangan dari Philippa Gregory. Saya sebenarnya agak kebingungan apakah ini kisah nyata atau hanya fiksi sebagaian berkata ini fiksi namun ada beberapa hal yang memang bersumber dari sejarah Inggris. Tapi kali ini saya bukan mau concern ke sejarahnya melainkan ke film nya (tapi penasaran dengan sejarah aslinya). Film ini sendiri bukanlah film yang baru sudah ada dari tahun 2008 di luar negeri sana. Saya kurang tau nasib film ini di Indonesia, apa sudah beredar atau tidak. Film ini bercerita tentang sebuah

8 Hari Jelang Premiere

Ternyata saya mengalami ketakutan luar biasa jelang premiere. Takut kalau filmnya malah dihujat orang, takut kalau dengar selentingan "Ih filmnya ga banget deh". Takut juga denger "Duh Sutradaranya payah nih". Dan komentar-komentar lainnya yang bisa menyayat hati. Sumpah. Ini baru pertama kalinya film pendek yang saya sutradarai di putar secara umum. Dan ternyata rasanya lebih fantastis. saya malah jadi takut jangan-jangan tidak ada yang mau nonton film "Senja" lagi. Wajarkan ya kalau sutradara amatir semacam saya mengalami kegugupan ini? Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar. Acaranya banyak yang datang dan tidak mengecewakan. Amien