“Saya selalu senang bersantai di café ini”
“Alasannya?”
“Suasananya, kopinya…”
“Cuma itu?”
“Tentu ada hal lain,hmmm… ini tempat kencan kita yang pertama bukan?”
Mereka terdiam sejenak. Biru meraih cangkir kopi yang ada di meja. Kemudian dia meniup-niup kopi yang masih panas itu. Sedangkan Jingga hanya memperhatikan setiap gerak tak berarti dari laki-laki yang ada di hadapannya dengan seksama. Bola matanya tak henti bergerak mengikuti setiap perubahan gerakan yang dilakukan Biru.
“Itu tidak bisa dibilang kencan..” ujar Jingga membuka keheningan. Biru mengerutkan keningnya pertanda tidak setuju.
“Iya-iya, kamu mencoba mengungkit-ungkit kesalahan terbesar yang pernah saya buat bukan?, ohh..Jingga tolong..”
“Tidak…” Jingga memotong dengan santai.
“Lalu?” tanya Biru penasaran.
“Saya hanya menegaskan Biru, bahwa itu tidak termasuk kencan”. Biru mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kamu tau sendiri kan? Hal yang paling saya sesali adalah, kenapa saya tidak pernah berani mengatakan apa saya rasakan padamu Jingga…”
“Gengsimu terlalu tinggi, padahal apa susahnya bilang, Saya suka Kamu atau I Love You, atau apapun kalimat yang menyatakan ketertarikan kamu pada saya..” jawab Jingga ketus.
Biru menundukan wajahnya terlihat menyesal. Buru-buru Jingga menyambung ucapannya tadi. “Dan sekarang harusnya kamu malu mengungkapkan penyesalan itu sekarang, apalagi kalau anak-anakmu yang dua biji itu dengar..malu Biru…ingat umur!”
“Kamu tau Jingga, sebenarnya waktu itu bukan sekedar gengsi, terlalu banyak pertimbangan yang saya buat dulu, sampai-sampai saya melupakan satu hal…”
“Apa?”
“Kalau Saya sayang Kamu, Jingga”
Jingga tersipu malu. Biru tersenyum lebar pada Jingga. Ia yakin telah melakukan hal yang benar.
“Seandainya kamu bilang itu dari dulu, mungkin saya tidak perlu menikah dengan si brengsek itu” sesal Jingga.
“Hei..hei tenang” Biru mencoba menenangkan Jingga.
“Kalau warna Jingga dicampur warna Biru, warna menjadi tidak jelas…”
“Maksud ucapan kamu apa Biru?” Apa kalau kita disatukan akan menghasilkan hubungan yang tidak jelas? Begitu?” Jingga sedikit kesal.
“Belum selesai Jingga, tapi dibalik ketidakjelasan warna yang muncul malah membuat perpaduan yang unik”. Mendengarnya Jingga pun terdiam kembali, sambil berusaha mengingat masa-masa indahnya bersama Biru 6 tahun yang lalu. Keduanya kini saling menembus waktu yang telah terlewat selama ini.
“Lalu sekarang bagaimana” tanya Jingga ragu.
“Saya sudah bercerai Jingga, kedua anak saya pun ikut dengan saya, kini saya hanya menunggu kesiapan dari kamu saja”
“Mudah sekali kamu bicara kata cerai..”
“Tidak sesulit yang kamu pikirkan Jingga, Saya sudah melewatinya.”
“Pernikahannya besok ya?” tanya Jingga diikuti dengan anggukan Biru yang bersemangat.
“Persiapannya sudah matang kan? Dan saya pun sudah sangat siap”. Tiba-tiba seorang perempuan datang menghampiri meja mereka berdua. Biru membisikan sesuatu pada perempuan itu. Memberikan sebuah tanda pada Biru setelah itu perempuan itu meninggalkan meja itu sambil tersenyum pada Jingga. Jingga membalas senyumnya.
“Terima kasih ya Jingga”
“Saya tidak butuh kata terima kasih Biru, pertemanang kita yang rumit ini sudah berlangsung lama, kita harus tetap professional bukan?”
Biru awalnya tersenyum. Kemudian ia malah tertawa keras. JIngga hanya senyum sambil geleng-geleng kepala.
“Tentu saya akan bayar Jingga, kamu jangan khawatir, maksud ucapan terima kasih saya adalah..”
“Terima kasih telah mengenalkan dia pada saya, itu kan?” potong Jingga.
Mereka berdua tertawa diiringi music masa kini yang mengalun dari tadi.
“Mungkin, setelah membuka Wedding Organizer, saran saya kamu juga harus buka Biro Jodoh ya?”
“Mungkin Biru, mungkin…”
Komentar
Posting Komentar