Langsung ke konten utama

Cerita Lebaran

Setiap tahun-nya Lebaran selalu memberikan cerita-cerita baru yang menarik untuk saya pribadi. Dilatarbelakangi oleh sebuah tradisi saling kunjung mengunjungi yang pada akhirnya akan menimbulkan cerita. Tidak seperti tahun lalu dimana di hari kedua lebaran saya harus berangkat menuju Sumatra, tahun ini saya tidak pergi mudik ke Bukittinggi. Tentunya keputusan untuk berada di Bandung saja membuat saudara-saudara dan rekan di Bandung bebondong-bondong datang ke rumah. Ya selama beberapa hari saya harus memasang wajah dengan mode, keep on smiling. Saling bersalaman dengan siapapun tamu yang datang dan terkadang saya tidak kenal dengan mereka. Katanya sih saudara tapi wajahnya saya tidak kenal. Bisa saja dulu kenal, tapi karena sudah lama tidak bertemu jadi saya lupa. Hari pertama tanpa di duga rumah langsung disesaki oleh saudara-saudara dan itu sangat melelahkan.

Meskipun saya tidak membantu dalam menyiapkan makanan tapi melihat banyak orang di rumah dengan obrolan-obrolan yang terkadang tidak saya mengerti. Saya kebanyakan mengangguk-anggu sambil tersenyum. Obrolan dengan bahasa minang sangat terdengar di rumah. Mau sembunyi di kamar, wah saya tidak mau menambah gossip baru dikalangan keluarga. Berbagai pertanyaan muncul beberapa yang paling sering muncul adalah,

“Gung kuliah dimana?. Tentu saya jawab “Psikologi, UPI”. Setiap saudara yang mendengar banyak yang awalnya kebingungan dibalut ketakutan dicampur dengan keheranan.

“Berarti tau tentang orang lain dong!” atau

“Udah bisa ngapain aja gung?" juga

“Wah jaman sekarang perlu banyak psikiater” tambah

“Wah bisa dong gung, nomer HP berapa?”.

Jawaban saya,

Pertanyaan nomer satu: “Haha (datar) Ga juga sih, baru semester 3” sebenernya mau jawab, emang gue peramal.

Pertanyaan nomer dua: Senyum dulu lalu, “Baru dasar-dasarnya aja”, sebenernya mau jawab, udah bisa bikin orang tambah sakit jiwa.

Pertanyaan nomer tiga: Senyum lagi, “Iya nigh lumayan prospeknya cerah”, sebenernya mau jawab, bukan psikiater Om tapi psikolog.

Pertanyaan nomer empat: Nyengir heran, “Siap, entar kalo udah jadi Psikolog”, sebenernya mau jawab, masi semester 3 oi, masa udah buka praktek? Entar yang ada lo makin stress ngobrol ama gue.

Sebuah kesimpulan ada di benak saya setiap saudara yang baru tau saya kuliah di Psikologi, ekspektasi mereka terhadap profesi Psikolog terlalu tinggi. Saya sih Cuma cengar-cengir aja, ya Alhamdulillah masih bisa dibanggain tuh jurusan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengingat

Beberapa hari ini saya banyak mengingat. Aktivitas yang kadang padatnya minta ampun, kadang juga kosongnya bikin ngelamun. Penyakit lupa saya makin menjadi, menurut mitos katanya yang pelupa itu banyak salah ama orangtua. Tapi secara ilmiah ada yang bilang orang pelupa gara-gara kebanyakan makan makanan yang banyak mengandung MSG. Ya meskipun, masih banyak lagi penyebab-penyebab lupa lainnya, yang saya pun belum tau pasti, saya menjadi pelupa seperti ini gara-gara apa. Saya mencoba meningat-ingat apa-apa saja yang terjadi beberapa hari ini, beberapa minggu ini, beberapa bulan ini, dan beberapa tahun ke belakang. Dan begitu banyak yang terjadi, sampai-sampai saya tida bisa mengingat semuanya, hanya kejadian-kejadian yang menimbulkan kesan khusus yang bisa saya ingat, itu pun samar, entah kesan baik, buruk, sedih, senang, takut, dan lainnya. Saya tidak menyangka saya sudah sampai sejauh ini, begitu banyak yang terlewati begitu saja. Saya tidak pernah menyangka apa yang ada di sekitar

Percaya Diri, Am I?

Hello, sudah lama rasanya tidak menuangkan huruf-huruf di blog ini. Daripada keburu usang dan tua saya akan mencoba menulis tentang PD. PD disini bukan mata kuliah Psikodiagnostik (sebuah mata kuliah berseri paling banyak,sampe 7 lho) yang menghiasi sanubari saya selama kuliah melainkan tentang percaya diri. Mungkin akan banyak yang bilang bahwa saya itu memiliki tingkat PD yang tinggi. Kelihatannya mungkin iya tapi nyatanya dan sejujur-jujurnya saya adalah orang yang pemalu dan mudah minder. That's the truth. Tapi sekarang bisa dibilang sudah agak mendingan dibandingkan dulu lho. Dulu waktu TK sampe SD kelas 2an saya masih suka bersembunyi dibalik ketiak Ibu saya ketika ada Om dan Tante yang ke rumah. Atau bersembunyi di kamar dengan jantung berdebar-debar karena takut ditanya (sekarang juga masih sembunyi di kamar tapi dengan alasan yang berbeda). Dan sedikit-sedikit hal itu mulai berubah ketika saya menyadari bahwa tubuh saya tidak cukup lagi untuk bersembunyi di balik ketiak Ib

Sebuah Hari Istimewa

Semua orang pasti memiliki beberapa tanggal dalam hidupnya yang dijadikan sebagai hari istimewa. Hari yang akan terasa berbeda dari biasanya. Hari dimana kita terkadang tidak bisa tidur karena tidak sabar menanti datangnya esok. Hari dimana jantung kita terasa berdebar lebih cepat dari biasanya. Hari dimana kita tidak sabaran untuk segera menemui hari itu. Itulah sesuatu yang disebut istimewa menurut saya. Ada beberapa hari, diantara 365 hari dalam setahun yang kita tandai. Saya pun memilikinya. Beberapa hari istimewa, entah itu berisi kesenangan atau berbalut kesedihan. Karena sesuatu yang istimewa tidak selalu berisi tawa. Sayangnya tidak semua orang bisa paham akan apa yang kita sebut istimewa. Saya berkata setiap kamis istimewa belum tentu orang pun dapat beranggapan sama atau minimal memahami apa yang kita rasakan saat menghadapi hari itu. Seharusnya saya dapat memahami hal itu, tidak merasa keberatan ketika orang lain menganggap hari itu adalah hari yang biasa saja. Tidak berhak