Langsung ke konten utama

hear not see

“Saya haus”
Dia meminum, gelas yang digenggamnya, tanpa setetes pun tersisa. Dia terlihat haus sekali. Lalu dia terdiam lagi, dan berkata, “saya masih haus”. Dia mengambil sebuah gelas baru yang airnya masih terisi penuh. Lagi-lagi dia meminumnya tanpa tersisa setetes pun. Dia diam lagi.
Dia mulai gelisah kembali, berteriak sekencang-kencang, teriakan yang sangat memekakan telinga. Matanya merah, terlihat marah, dahinya berkerut, seakan dahinya ditusuk ratusan jarum.

“Saya masih sangat haus”, Dia terlihat lesu, pucat, tanpa ada rona di wajahnya, kusam sekali. Orang di sebelahnya, memberikan gelas yang belum ia minum, karena merasa dia lebih membutuhkan. “ambil ini, minum saja”.
Dia meminumnya lagi, lagi-lagi tanpa sisa, dia tampak haus sekali, mungkin dia kelelahan. Setelah ia meminum 3 gelas dan menyelesaikan adegan marah-marahnya. Dia pun tertidur, tampak nyenyak sekali, orang sebelahnya yang lebih dulu tidur, malah tampak gelisah. Dia terus tidur masuk ke alam mimpinya, semakin dalam.

Saat subuh datang dia pun terbangun denga langkah yang begitu cepat dia pun membangunkan orang di sebelahnya. “bangun, kamu jangan tidur terlalu lama, nanti kamu bermimpi terlalu jauh”. Orang di sebelahnya langsung bangun. Dan melihat dia dengan perlahan. “Saya lapar”, dia makan.
“Saya masih lapar”, dia makan lagi.
“Saya tetap lapar”, dia makan lagi.
Tak sedikitpun makanan bersisa, semua ia makan dengan lahap. Dengan senyuman tipis pertanda puas. Ia semakin lama semakin melebarkan senyumnya, tidak ada tumpukan kerutan di dahinya kini. Ia tampak puas. Tak ada jeritan, umpatan kasar, ia hanya tersenyum puas.
Sedangkan orang yang berada di sebelahnya hanya diam, melirik sesekali, tanpa berani menatap terlalu lama. Bibirnya kaku untuk berkata. Namun dia tetap tersenyum puas, sampai ia akhirnya melirik pada orang di sebelahnya. Alasannya melirik karena ia merasa kebahagiaannya tidak disambut baik. Dia pun bertanya.

“kenapa kamu melirik pada saya sedatar itu?”

“kerongkongan saya haus, kuping saya sakit, mata saya berat untuk menatap, perut saya lapar, dan hati saya sebentar lagi akan mati”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Solo Traveling (part 1)

Hei apa kabar my dearest blog? Wah sudah dua tahun ya tidak ada posting sama sekali di blog ini. Bukan tidak ingin untuk menulisa lagi, hanya saja hmmmmm. Okey mari kita lewati memberikan berbagai macam alasan untuk tidak menulis, sekarang saya akan sedikit memberikan pengalaman saya seputar jalan-jalan. Rasanya sudah cukup lama sih tidak menulis sesuatu yang bersifat informatif di blog ini. Tulisan-tulisan terakhir saya berisi cerita-cerita fiksi, keluh kesah, puisi, dan hal-hal yang mungkin kurang informatif dan bermanfaat (tapi cukup menghibur kan?). Bukan sok nasionalis sih, tapi emang Indonesia itu negara yang luas dan punya banyak sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi.   Saya tiba-tiba baru sadar bahwa saya sudah terlalu sering jalan-jalan. Memang sih saya belum bisa dikategorikan sebagai backpacker sejati atau traveler akut. Apalagi kalau mau adu jumlah negara yang dikunjungi, duh saya masih cupu sekali. Selain karena waktu dan ehem budget, saya lebih fokus u

Review: The Other Boleyn Girl

I give 4,5 star from 5 for this movie. Wow. Satu lagi jajaran film yang masuk film kategori “sangat bagus” menurut saya. Saya baru berkesempatan menonton film ini hari ini. Dan ternyata tidak pernah ada kata terlambat untuk film bagus. Ceritanya sendiri sangat complicated, bukan sekedar cinta, tapi juga melibatkan nafsu, ambisi, politik, humanity, dan berbagai kata lain yang akan muncul setelah saya menonton film ini.Film ini sendiri diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karangan dari Philippa Gregory. Saya sebenarnya agak kebingungan apakah ini kisah nyata atau hanya fiksi sebagaian berkata ini fiksi namun ada beberapa hal yang memang bersumber dari sejarah Inggris. Tapi kali ini saya bukan mau concern ke sejarahnya melainkan ke film nya (tapi penasaran dengan sejarah aslinya). Film ini sendiri bukanlah film yang baru sudah ada dari tahun 2008 di luar negeri sana. Saya kurang tau nasib film ini di Indonesia, apa sudah beredar atau tidak. Film ini bercerita tentang sebuah

8 Hari Jelang Premiere

Ternyata saya mengalami ketakutan luar biasa jelang premiere. Takut kalau filmnya malah dihujat orang, takut kalau dengar selentingan "Ih filmnya ga banget deh". Takut juga denger "Duh Sutradaranya payah nih". Dan komentar-komentar lainnya yang bisa menyayat hati. Sumpah. Ini baru pertama kalinya film pendek yang saya sutradarai di putar secara umum. Dan ternyata rasanya lebih fantastis. saya malah jadi takut jangan-jangan tidak ada yang mau nonton film "Senja" lagi. Wajarkan ya kalau sutradara amatir semacam saya mengalami kegugupan ini? Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar. Acaranya banyak yang datang dan tidak mengecewakan. Amien